Menyusuri Sumba: Antara Sejarah, Alam, dan Kedamaian Jiwa
“Traveling – it leaves you speechless, then turns you into a storyteller.” – Ibn Battuta
Selamat pagi, Desa Adat Ratenggaro! Selamat pagi, Sumba! Hari ini adalah hari Kamis, hari ketiga petualanganku di pulau ini, dan hari kesembilan dalam perjalanan panjang ke timur. Begitu banyak yang sudah kulalui, namun aku tahu masih banyak hal yang menunggu untuk ditemukan. Pagi ini, Pak Martinus dan dua anaknya mengajakku berkeliling desa adat Ratenggaro (lihat disini). Aku mengikuti mereka dengan langkah yang penuh semangat, seperti berjalan dalam cerita sejarah yang sudah lama terlupakan. "Ini makam-makam adat yang terbuat dari bebatuan asli yang dibentuk dan diukir" ujar Pak Martinus sambil menunjuk ke arah tumpukan batu besar yang membentuk sebuah makam kuno.
"Di sini, setiap batu punya cerita, setiap celah menyimpan kenangan," lanjutnya, suaranya mengalun dengan kebanggaan. Aku mengangguk, tak hanya terkesima oleh penjelasannya, tapi juga oleh betapa indahnya alam sekitar kami.
Bersama pak Martinus |
Perjalanan berlanjut hingga kami tiba di pinggiran Pantai Ratenggaro, di mana sebuah makam kuno berbentuk kubus tampak menjulang dengan batu besar menutupi bagian atasnya. “Ini makam sesepuh dan pendiri desa,” kata Pak Martinus, mengenalkan pada sejarah yang tersembunyi di balik batu-batu ini. Suara deburan ombak dan semilir angin laut begitu menenangkan. Tak bisa kutahan diri untuk mengabadikan momen ini dalam foto. Bersama Pak Martinus, aku berpose di depan makam kuno dengan latar pantai yang begitu memukau. Anak-anak Pak Martinus dengan senang hati membantu mengambil foto. "Pak, senyum dulu!" teriak salah satu dari mereka, membuat suasana makin hangat dan ceria.
Setelah berkeliling dan puas bermain di pantai, kami melanjutkan perjalanan untuk mengeksplorasi lebih jauh Desa Ratenggaro (lokasi lihat disini). "Lihat ini, rumah adat Sumba terbuat dari kayu dan atapnya terbuat dari daun lontar," kata Pak Martinus sambil menunjuk ke salah satu rumah adat yang menjulang tinggi. “Setiap rumah punya cerita, dan setiap tiang yang menyangga adalah simbol kekuatan komunitas kami.”
Sesekali, anaknya mengajakku berfoto di depan rumah adat dengan latar belakang alam yang indah. Tak terasa waktu berlalu, dan akhirnya kami duduk bersama didepan rumahnya dan sambil menikmati sepiring mie instan sambil tertawa ringan. "Ini adalah mie instan khas Sumba, loh!" kata Pak Martinus dengan gaya bercanda. "ini kan cuma Indomie rasa soto" Aku menimpali sambil tertawa, merasa seolah-olah mie ini adalah bagian dari petualangan yang penuh cerita.
Setelah makan bersama dengan keluarga Bapak Martinus, perjalanan dilanjutkan menuju tujuan berikutnya: Waikuri Lagoon (lokasi lihat disini). Aku mengandalkan GPS, meski terkadang ia memberikan jalan singkat yang ternyata malah membuatku tersesat. “Duh, GPS ini bisa jadi teman atau musuh,” gumamku dalam hati sambil melanjutkan perjalanan. Tentu saja, hal ini membuat waktuku molor, tapi setidaknya aku sampai juga di tujuan, meskipun agak terlambat.
Waikuri Lagoon |
Waikuri Lagoon (lihat disini) adalah surga tersembunyi di Sumba. Danau yang jernih dengan air yang begitu tenang, dikelilingi oleh bebatuan karang besar. Gelombang laut yang menghantam karang menciptakan suara yang hampir seperti musik alam. "Tidak ada yang seperti ini lagi," kataku sambil terpesona melihat keindahan sekitar. Aku berjalan mengelilingi danau ini, sesekali berhenti untuk berfoto. Warga lokal dengan ramah membantu mengambil gambar.
Bunda Pecinta Damai |
Setelah menikmati keindahan Waikuri Lagoon, perjalanan berlanjut menuju Taman Doa Gua Maria Rabe Gaga (lokasi disini) di Waikabubak. Meskipun jalanan semakin lancar berkat pembaruan, terkadang GPS juga mengarahkanku ke jalan yang kurang tepat. Setiap tikungan yang kulewati seperti memberi tantangan baru. Namun akhirnya aku tiba di Gua Maria yang begitu tenang dan sunyi.
Di sana, aku mendaki anak tangga menuju pelataran Gua Maria (lihat disini). “Doa adalah tempat di mana hati bertemu dengan Tuhan,” kataku dalam hati, teringat akan ayat Alkitab yang berkata, “Berdoalah tanpa henti.” (1 Tesalonika 5:17). Aku berdoa dengan khusyuk, memohon berkah dan ketenangan hati. Setelah itu, aku tidak lupa mengabadikan momen ini sebagai kenang-kenangan perjalanan spiritual ini.
Tujuan selanjutnya adalah Patung Yesus Gollu Potto (lihat disini), yang terletak di Desa Soba Wawi, Kecamatan Loli. Perjalanan menuju sana penuh tantangan—hujan deras yang membuatku berteduh di sebuah warung, menunggu waktu yang tepat untuk melanjutkan. "Seperti petualangan dalam cuaca apokaliptik," pikirku sambil tertawa dalam hati.
Setelah lebih dari dua jam menunggu, hujan akhirnya reda. Aku melanjutkan perjalanan menuju bukit di mana patung Yesus berdiri megah. Meskipun gerimis masih menemani, aku tetap bersemangat mendaki anak tangga menuju puncak bukit. “Patung Yesus ini menyambut setiap peziarah dengan tangan terbuka,” kata seorang warga setempat yang ku temui di sana. Aku berdiri di puncak, menatap kota dari ketinggian, merenung sejenak, dan merasakan kedamaian yang luar biasa. “Kedamaian datang dari dalam diri kita,” pikirku, mengingat salah satu kata mutiara yang pernah kudengar.
Sunset |
Setelah beristirahat, aku melanjutkan perjalanan menuju Waingapu, di mana aku melewati kembali Bukit Wairinding (lihat disini) yang aku kunjungi saat menuju ke Pulau Sumba bagian barat. Jika ada tempat yang sempurna untuk menikmati sunset, maka Bukit Wairinding adalah tempatnya. Matahari terbenam di balik bukit-bukit yang membentang luas. Aku berhenti sejenak, menatap keindahan itu dengan penuh rasa syukur. “Perjalanan ini seperti sebuah buku cerita, di mana setiap halaman memiliki keajaibannya sendiri,” gumamku sambil mengabadikan momen itu dalam foto.
Namun, perjalanan tidak berakhir begitu saja. Malam sudah datang, dan aku harus mencari pelabuhan untuk menyeberang ke Aimere di Pulau Flores. Dengan bantuan GPS, aku menuju pelabuhan, namun ternyata ada lebih dari satu pelabuhan di Waingapu. Setelah beberapa kesalahan dan kebingungannya, aku akhirnya mendapatkan penginapan yang nyaman, Hotel Jemmy (lihat disini), atas rekomendasi Koh Sinyo.
“Petualangan ke Flores dimulai besok,” kataku sambil menutup hari ini dengan senyuman dan rasa penuh syukur.
Dan seperti yang pernah dikatakan oleh Mark Twain, “Dua puluh tahun dari sekarang, kamu akan lebih kecewa oleh hal-hal yang tidak kamu lakukan daripada oleh hal-hal yang sudah kamu lakukan.” Petualangan ini, seperti perjalanan hidupku, adalah tentang menjalani setiap momen dengan sepenuh hati.
0 komentar :
Posting Komentar