Perjalanan ke timur XIII

Melangkah di Flores: Antara Doa, Hujan, dan Keindahan Alam


Hari Selasa pagi di Ruteng, sebuah kota kecil yang terletak di jantung Pulau Flores, dimulai dengan keheningan yang menenangkan. Aku bangun lebih awal, menghirup udara segar yang begitu sejuk dan segar, mengingatkan pada sebuah kenangan masa kecil di desa yang jauh dari keramaian. Ini adalah hari kedua di kota ini dan hari ke-14 dalam perjalanan panjang yang telah mengarahku ke Timur Indonesia. Perjalanan ini sudah terasa begitu penuh makna, seperti sebuah kisah panjang yang belum selesai.

Di Biara Bruderan CSA, aku bergabung dalam ibadah pagi bersama para bruder dan anggota komunitas. Suara nyanyian dan doa yang disuarakan dengan hati penuh ketulusan benar-benar membawa suasana yang menenangkan. Setelah ibadah, kami duduk bersama di ruang makan untuk menikmati sarapan yang sederhana tapi penuh kehangatan. Sepiring nasi, roti bakar, dan secangkir kopi manggarai hangat sudah cukup membuat pagi itu terasa lengkap.

Sambil menikmati sarapan, aku mulai berbincang dengan beberapa bruder, termasuk Bruder Bayu yang masih muda tapi sangat ramah. Percakapan kami mengalir ringan.

Puspita Efata

"Jadi, bagaimana rasanya tinggal di Ruteng?" tanya Bruder Bayu, penasaran.

Aku mengangkat bahu, "Ruteng itu menyenangkan, sih. Udara sejuk dan pemandangannya luar biasa. Rencana awal saya cuma menginap semalam, tapi mungkin saya akan tambah dua hari lagi. Kalau bisa, sih, lebih lama," jawabku dengan senyuman.

Bruder Bayu tertawa, "Ruteng memang membuat betah. Tapi rencanamu hari ini kemana?"

Aku berpikir sejenak, "Mau cari Gua Maria atau keliling kota saja. Tapi kalau bisa, saya ingin mampir ke pantai."

"Kalau begitu, coba ke Pantai Torong Besi di Reo. Ada Gua Maria juga di sana. Jaraknya sekitar 68 km dari sini, butuh dua jam perjalanan," kata Bruder Bayu sambil tersenyum.

"Deal!" jawabku, "Pantai Torong Besi itulah yang saya cari!"

Setelah sarapan, aku segera bersiap-siap dan meluncur dengan sepeda motor menuju Gua Maria Golo Curu (lokasi disini), yang terletak sekitar 3-4 km dari biara. Jalan menuju ke sana cukup mulus, meskipun sedikit berkelok. Di kanan kiri jalan, aku disuguhkan pemandangan alam yang begitu menakjubkan. Bukit hijau dan sawah-sawah yang menghijau membuat hati ini tenang.

Golo curu

Sesampainya di Gua Maria Golo Curu (lihat disini), aku meletakkan motor dan melangkah menuju pelataran gua yang sederhana namun sangat asri. Tempat ini dikelilingi oleh pepohonan yang rimbun, memberikan kesan sejuk dan damai. Aku berdiri di sana beberapa saat, merasakan angin sejuk menyapa wajah, dan menenangkan hati. Namun, tak lama setelah aku mulai berdoa, hujan turun dengan deras. "Cih, cuaca Flores memang unpredictable," gumamku sambil berlari mencari tempat berteduh. Salah satu hal yang bisa aku pelajari di perjalanan ini adalah bahwa cuaca bisa berubah dalam sekejap—seperti hidup yang penuh kejutan. Terkadang, kita harus belajar untuk beradaptasi, bukan?

Setelah sekitar setengah jam hujan reda, aku melanjutkan perjalanan menuju Pantai Torong Besi. Jalanan menuju pantai memang sedikit lebih sempit dan berliku, namun pemandangannya luar biasa. Sambil berkendara, aku mulai merenung, "Kadang-kadang kita harus melewati jalan yang berliku untuk menemukan tempat yang benar-benar indah."

Tiba di Reo, hujan kembali turun dengan sangat deras. Aku berhenti di sebuah warung kecil untuk makan siang. Makan siang di sini sangatlah sederhana, namun rasanya enak sekali. "Nasi ayam, Bu," kataku, sambil menyapa ibu yang sedang menyiapkan makanan.

Tak lama, beberapa bapak-bapak duduk di meja yang sama, mulai bercerita tentang kehidupan di Reo. "Kami di sini sudah terbiasa dengan hujan. Tapi yang lebih penting, kami selalu merasa hidup dalam kebersamaan," kata salah seorang bapak dengan senyum lebar.

Aku tertawa, "Kalau begini ceritanya, saya jadi merasa lebih dekat dengan kalian. Rasanya ingin terus tinggal di Flores."

Setelah makan, hujan mulai reda, dan aku melanjutkan perjalanan ke Pantai Torong Besi (lokasi disini). Pantai ini terletak agak tersembunyi, sepi, dan sangat damai. Ketika aku sampai, pantai ini seperti milik pribadi. Ombak yang tenang, pasir yang putih, dan angin laut yang sejuk benar-benar memberikan ketenangan yang luar biasa. Aku berhenti sejenak untuk menikmati suasana, dan kemudian menuju Gua Maria yang terletak di atas bukit. Untuk mencapai pelataran Gua Maria (lokasi disini), aku harus menaiki beberapa anak tangga yang dikelilingi pepohonan rindang. Pemandangannya sangat indah—Gua Maria berdiri kokoh, menghadap ke laut lepas, seakan-akan menjaga dan memberkati para nelayan yang mencari nafkah di sana. (lihat disini)

GM. Torong Besi

"Salam Maria, penuh rahmat," bisikku dengan pelan, merasakan kedamaian yang hadir di tempat ini. Di sini, semua kelelahan perjalanan seakan hilang. Ada kekuatan yang besar dalam kesederhanaan tempat ini. Setelah berdoa, aku melanjutkan perjalanan menuju pantai yang ada di seberang gua. Aku berjalan di sepanjang pantai yang sunyi, menikmati setiap hembusan angin laut yang menyegarkan. Waktu seolah berhenti di sini, dan aku bisa merasakan kedamaian yang tak bisa ditemukan di tempat lain. (lihat disini)

Namun, waktu terus berlalu. Jam menunjukkan pukul 3 sore, dan aku memutuskan untuk kembali ke Ruteng. Tetapi, tentu saja, perjalanan pulang tidaklah mudah. Cuaca buruk kembali datang, dan hujan lebat mengguyur jalanan. Aku terpaksa berteduh di sebuah pondok kecil di pinggir jalan, di mana beberapa bapak-bapak sedang menghangatkan diri dengan api unggun.

"Mau berteduh, Kak?" tanya salah satu bapak dengan ramah.

Aku mengangguk dan mereka mempersilakan aku duduk di dekat api. Sambil menunggu hujan reda, kami berbincang tentang kehidupan, tentang cuaca yang kadang tidak bisa diprediksi, dan tentang apa yang telah kami alami dalam hidup. "Begitulah hidup, Nak," kata bapak itu. "Kadang kita harus berhenti sejenak untuk berteduh, sebelum melanjutkan perjalanan."

Torong Besi

Setelah hujan reda, aku melanjutkan perjalanan kembali dan tiba di Biara Bruderan CSA sekitar pukul 5 sore (lokasi disini). Aku membersihkan diri setelah kehujanan dan segera bergabung untuk makan malam bersama para bruder dan anggota komunitas.

Kami berbicara tentang petualangan hari itu, menceritakan pengalaman kami dengan tawa. "Esok rencananya ke desa adat seperti Todo dan Waerebo, kan?" tanya Bruder Bayu.

"Betul!" jawabku dengan semangat. "Saya tak sabar untuk melihat lebih banyak lagi keindahan dan budaya di Flores ini."

Ketika aku memikirkan perjalanan ini, aku teringat sebuah kutipan dari Albert Einstein yang mengatakan, “Hidup itu seperti bersepeda. Untuk menjaga keseimbangan, kita harus terus bergerak.” Begitulah perjalanan hidupku—terus bergerak, terus belajar, dan terus menemukan keindahan dalam setiap langkah.

Dan jadi, perjalanan ini tidak hanya tentang tempat yang dikunjungi, tapi tentang bagaimana kita bisa tumbuh dan belajar dari setiap momen yang kita alami. Dalam setiap tantangan, selalu ada pelajaran berharga. Seperti hujan yang datang tiba-tiba, atau perjalanan yang berliku—semua itu mengajarkan kita untuk bertahan, beradaptasi, dan menghargai setiap momen dalam hidup.

Besok adalah petualangan baru, dan aku siap untuk melanjutkannya.

Lihat Part Sebelumya :

Part I disini.
Part II disini.
Part III disini
Part IV disini
Part V disini
Part VI disini
Part VII disini
Part VIII disini
Part IX disini
Part X disini
Part XI disini
Part XII disini
Part XIII disini

0 komentar :

Posting Komentar