Perjalanan ke timur XV

Kehangatan Labuan Bajo: Mengarungi Laut dan Menyusuri Senja di Flores


Hari itu Kamis pagi yang cerah, dan aku sedang duduk di salah satu bangku kayu di Biara CSA Ruteng, (lokasi lihat disini) menyadari bahwa hari ke-4 di Ruteng ini akan segera berakhir. Sambil menatap pemandangan sekitar di kota ini, aku merasakan ketenangan yang luar biasa—sangat berbeda dari hiruk-pikuk dunia luar yang biasa aku alami. Seperti sejenak bisa berhenti sejenak dari perjalanan panjang yang sudah dimulai sejak hari pertama di timur Indonesia.

Setelah mengikuti kegiatan komunitas di biara yang cukup menginspirasi, aku duduk bersama Bruder Bayu dan Bruder lainnya. Kami menikmati sarapan pagi yang sederhana namun penuh makna—Sarapan pagi sederhana, nasi goreng dan telur dadar, dan secangkir kopi hangat yang rasanya lebih nikmat dari biasanya.

"Jadi, kamu mau lanjut ke Labuan Bajo?" tanya Bruder Bayu, mata berbinar seolah sudah tahu jawaban dariku.

"Yap, hari ini saya mau melanjutkan perjalanan. Tujuan selanjutnya adalah Labuan Bajo," jawabku sambil menyesap kopi.

"Labuan Bajo, ya? Hati-hati di jalan, itu perjalanan panjang," tambah Bruder Bayu, sedikit mengingatkan. Aku pun tersenyum, merasakan rasa hangat dari pertemuan ini—meskipun hanya sebentar, Ruteng seolah memberikan kedamaian yang tidak bisa ditemukan di tempat lain.

Berfoto bersama sebelum pergi
Setelah beberapa obrolan ringan tentang perjalanan dan kehidupan, akhirnya aku berpamitan. Dengan motor yang sudah siap, aku memulai kembali perjalanan ke Labuan Bajo, sambil merasa sedikit haru meninggalkan Ruteng yang penuh kenangan ini.

Jarak antara Ruteng dan Labuan Bajo sekitar 138 km, yang berarti perjalanan panjang menantiku. Namun, sebelum melanjutkan ke Labuan Bajo, aku memutuskan untuk mampir ke Lingko Spiderweb (lokasi dilihat disini), sebuah tempat yang terkenal dengan sawah yang membentuk pola seperti jaring laba-laba. Sepertinya, ini akan menjadi salah satu momen "wow" dalam perjalanan ini.

Sesampainya di sana, aku terkesima dengan pemandangan yang hijau dan alami—bukit-bukit yang mengelilingi sawah-sawah terasering yang terbentang luas. Tapi, jujur saja, ekspektasiku terlalu tinggi. Sawahnya memang teratur rapi dan membentuk pola-pola yang menarik, namun tidak seperti gambaran yang aku bayangkan sebelumnya. (lihat disini)

"Ah, ya sudahlah," kataku dalam hati, mencoba menerima kenyataan dengan ikhlas. Aku berhenti sejenak, berfoto dengan latar belakang sawah, dan berpura-pura terpesona meskipun dalam hati agak kecewa. Pemandangan ini tak seunik yang aku bayangkan, tapi tetap saja suasananya damai dan menenangkan. Akhirnya, setelah beberapa foto, aku melanjutkan perjalanan, berharap Labuan Bajo akan lebih menakjubkan.

Tidak lama setelah meninggalkan Lingko Spiderweb, cuaca berubah drastis. Langit yang tadinya cerah, kini mendung tebal. Dan tiba-tiba... hujan! Aku terpaksa menepi dan mencari tempat berteduh. Tidak lama kemudian, aku menemukan sebuah warung kecil yang nyaman di pinggir jalan. Aku memarkirkan motor dan masuk ke dalam warung. Sambil membuka jas hujan, aku disambut oleh aroma kopi yang menggugah selera.

“Ngopi dulu, Nak?” tanya ibu pemilik warung dengan senyum ramah.

“Boleh, Ibu. Segelas kopi dan roti,” jawabku, berusaha terlihat tenang meskipun hujan di luar semakin deras.

Kami berbincang tentang kehidupan di Flores. Ibu itu bercerita dengan penuh semangat tentang tradisi dan cara hidup yang mereka jalani. "Di sini, hujan sudah jadi bagian dari hidup kami. Kalau hujan datang, ya udah, kita beradaptasi," kata ibu itu dengan tawa kecil. Aku tertawa, membenarkan. "Di luar sana mungkin akan panik, tapi di sini kami santai saja."

Setelah menikmati secangkir kopi hangat dan roti, hujan mulai mereda, dan aku kembali melanjutkan perjalanan. Namun, beberapa jam kemudian, hujan kembali turun—lebih deras dari sebelumnya. Aku pun berhenti lagi di sebuah pondokan kecil yang menjual bakso. Siapa yang bisa menolak bakso panas di tengah hujan?

Labuan bajo masih disana


"Bakso, Pak! Bakso!" kataku sambil masuk ke dalam pondokan. Aku merasa sangat bijak memilih berhenti di tempat ini—bakso panas di tengah hujan adalah pilihan terbaik.

Sambil makan, aku merasa seperti seorang petualang sejati yang bertahan hidup di tengah badai—meskipun sebenarnya hanya sedang menikmati makan siang yang lezat.

Setelah perjuangan panjang melawan hujan, akhirnya aku tiba di Labuan Bajo. Aku langsung menuju Puncak Waringin (lokasi dilihat disini) untuk menikmati pemandangan dari ketinggian. Dari sana, aku bisa melihat seluruh kota Labuan Bajo terhampar dengan indah, di bawah langit yang mulai berwarna jingga. Laut yang biru dan pulau-pulau kecil yang tersebar memberi kesan seolah-olah aku sedang berada di dunia lain, dunia yang hanya ada di dalam mimpi.

Aku berhenti sejenak, menatap pemandangan yang luar biasa ini, dan merasakan seluruh kelelahan perjalanan menguap begitu saja. “Wah, akhirnya... ini baru pemandangan yang saya cari!” kataku pada diri sendiri sambil mengabadikan momen indah itu dengan beberapa foto. Aku merasa sangat bersyukur, semua perjalanan panjang ini seakan berbalas dengan keindahan alam yang luar biasa. 

Setelah puas menikmati pemandangan dari Puncak Waringin (lihat disini), aku melanjutkan perjalanan ke pelabuhan untuk mencari informasi tentang open trip ke Pulau Komodo. Di pelabuhan, aku bertemu dengan Bapa Marco, seorang kru kapal Phinisi yang sedang menunggu di sekitar pelabuhan. Setelah ngobrol santai, Bapa Marco menawarkan kesempatan untuk bergabung dengan trip ke Pulau Komodo pada hari Sabtu—gratis!

"Gratis, bro! Join kita aja!, malah nanti dapat uang tip dari turis" kata Bapak Marco dengan antusias, sambil menyodorkan segelas moke. Minuman khas Flores yang rasanya cukup memabukkan.

Namun, aku menolaknya dengan alasan yang sangat rasional. "Sabtu saya harus pulang ke Semarang, Bapak. Terima kasih, tapi saya harus lanjutkan perjalanan."

Kawasan marina

Walaupun sedikit kecewa tidak bisa ikut trip gratis, aku tetap merasa beruntung bisa bertemu dengan orang-orang lokal yang begitu ramah dan terbuka.

Setelah pertemuan yang menyenangkan dengan Bapa Marco dan berbincang-bincang tentang trip ke Pulau Komodo, aku memutuskan untuk mencari tempat penginapan yang nyaman di Labuan Bajo. Ada banyak pilihan di kota ini, namun aku tertarik untuk menginap di La Boheme Bajo Hostel (lokasi lihat disini). Hostel ini sudah cukup terkenal di kalangan para backpacker karena lokasinya yang strategis dan suasana yang santai.

Setibanya di La Boheme Bajo, aku disambut dengan suasana yang hangat. Bangunan hostel ini tidak terlalu besar, tapi begitu memikat dengan desain yang sangat modern namun tetap menjaga nuansa tradisional Flores. Dindingnya dihiasi dengan lukisan-lukisan warna-warni yang menggambarkan keindahan alam sekitar. Aku langsung merasa betah, seolah-olah sudah seperti rumah kedua. Terdapat beberapa ruang terbuka yang nyaman, tempat untuk bersantai sambil menikmati pemandangan laut yang mengagumkan.

Setelah registrasi dan mendapatkan kunci kamar, aku berjalan menuju ruanganku. Kamarnya sederhana namun sangat fungsional, dengan kasur empuk yang pastinya akan memberi kenyamanan setelah perjalanan panjang. Aku meletakkan tas di sudut ruangan dan langsung membuka jendela, Laut yang berkilauan di bawah sinar matahari sore memberi ketenangan yang luar biasa. Di kejauhan, aku bisa melihat beberapa pulau kecil, mengingatkan aku pada betapa kecilnya aku di tengah lautan luas ini.

“Akhirnya… tempat yang nyaman setelah perjalanan panjang,” pikirku, sambil tersenyum puas.
Menikmati Labuan Bajo: Sore yang Menggetarkan Hati

Menikmati sunset

Setelah istirahat sejenak, aku memutuskan untuk keluar dan menikmati sore di sekitaran kota. Ada satu tempat yang selalu menarik perhatian para wisatawan di Labuan Bajo: Marina Waterfront (lokasi lihat disini). Terletak tidak jauh dari penginapan, tempat ini menawarkan pemandangan laut yang luar biasa, serta suasana yang sangat santai.

Sambil berjalan menuju marina, aku melihat kota ini mulai hidup. Kafe-kafe dan restoran kecil yang terletak di sepanjang jalan mulai dipenuhi orang-orang yang ingin menikmati sore hari. Udara di Labuan Bajo begitu menyegarkan—angin laut yang sejuk membawa aroma khas pantai yang membuatku semakin menikmati setiap langkah.

Setibanya di Marina Waterfront (lihat disini), aku terpesona oleh keindahan langit yang mulai berubah warna. Sinar matahari mulai meredup, memberikan nuansa keemasan yang sangat memukau. Di kejauhan, kapal-kapal layar tampak bergerak perlahan, sementara para wisatawan dan penduduk lokal duduk-duduk santai menikmati senja. Ada beberapa pasangan yang sedang berfoto, beberapa orang yang sedang berjalan-jalan di dermaga, dan para nelayan yang sedang menyiapkan kapal mereka.

Aku berjalan di sepanjang dermaga, meresapi ketenangan yang luar biasa di sini. “Inilah yang aku cari—tempat yang tenang untuk mengakhiri hari,” pikirku. Aku duduk di salah satu bangku di pinggir marina, melihat refleksi cahaya matahari yang memantul dari permukaan laut, memberikan kilauan yang hampir magis.

Tentu saja, aku tidak bisa melewatkan kesempatan untuk berfoto. Aku mengambil ponsel dan mengabadikan pemandangan senja ini. Meskipun aku tahu bahwa foto tak akan pernah bisa benar-benar menangkap keindahan yang aku lihat langsung, tetap saja aku ingin membawa pulang sedikit kenangan dari momen itu.

Sore yang indah itu perlahan berubah menjadi malam, dan Labuan Bajo semakin memancarkan pesonanya. Aku memutuskan untuk berjalan lebih jauh lagi, menyusuri jalan-jalan yang masih ramai dengan turis dan penduduk setempat. Lampu-lampu jalan dan pelabuhan yang berkilauan menciptakan suasana yang sangat magis. Aku berhenti sejenak, menatap kota yang indah ini dengan perasaan yang sangat puas. “Aku akan selalu ingat Labuan Bajo,” pikirku, meresapi keindahan ini.

Akhirnya, aku memutuskan untuk kembali ke penginapan. Jalanan sudah lebih sepi, dan udara malam yang sejuk membuat langkahku terasa ringan. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk menikmati setiap momen yang ada, karena di tempat seperti ini, setiap detik terasa begitu berarti.

To travel is to live.” – Hans Christian Andersen

Malam itu, aku menyadari bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang tempat-tempat yang aku tuju, tapi tentang setiap pengalaman yang aku alami. La Boheme Bajo, Marina Waterfront, dan seluruh kota Labuan Bajo seolah membentuk bagian dari cerita yang tak terlupakan. Besok adalah hari baru, dengan petualangan yang lebih besar menanti, namun untuk malam ini, aku bisa beristirahat dan merasa sangat beruntung.

Lihat Part Sebelumya :

Part I disini.
Part II disini.
Part III disini
Part IV disini
Part V disini
Part VI disini
Part VII disini
Part VIII disini
Part IX disini
Part X disini
Part XI disini
Part XII disini
Part XIII disini
Part XIV disini
Part XV disini
Part XVI disini
Part XVII disini

Pusat Bantuan . Persyaratan Layanan . Privasi Kebijakan Konten


0 komentar :

Posting Komentar