Perjalanan ke timur XIV

Bakso Hangat dan Desa Adat: Petualangan di Tengah Hujan Flores


Hari ini adalah hari Rabu, hari ketiga aku di kota Ruteng, Flores, dan sudah hari ke-15 dalam rangkaian perjalanan panjang menuju timur Indonesia. Aku merasa seperti sudah menjadi sahabat baik dengan setiap tetes hujan, jalan berlumpur, dan pertemuan tak terduga yang terjadi. Setiap hari bagaikan petualangan baru yang tak pernah terduga, dan aku merasa siap untuk menjalaninya, meskipun tahu pasti ada kejutan yang menanti di depan.

Pagi ini, aku terbangun di Bruderan CSA, biara kecil yang terletak di pusat kota Ruteng. Dari jendela kamar, aku melihat kabut tipis yang menyelimuti puncak bukit. Cuaca seperti ini rasanya mengajak tidur lagi, tapi aku sudah bertekad untuk melanjutkan perjalanan. Dengan segelas kopi Flores yang nikmat, aku duduk bersama beberapa bruder dan anggota komunitas lainnya.

"Jadi, hari ini ke Wae Rebo, kan?" tanya Bruder Bayu sambil menyerahkan piring untuk sarapan.

"Iya, itu rencanaku. Tapi kalau hujan terus-terusan, mungkin aku ganti rencana ke Desa Niang Todo Saja," (lokasi disini) jawabku sambil menyesap kopi. Ternyata, kopi di Flores ini bisa bikin siapa pun yang meminumnya merasa seperti sedang berbicara dengan alam. "Nggak sabar deh mau lihat Desa adat Wae Rebo," tambahku dengan semangat.

Compang Todo
Bruder Bayu mengangkat alisnya. "Hm, kalau cuaca buruk, kamu akan melihat Wae Rebo lebih cepat dari yang kamu kira... dan dengan cara yang lebih basah!" katanya sambil tertawa. "Jangan dipaksakan kalau jalanannya licin, nanti kamu malah jadi ‘raja jalan berlumpur’."

Aku tertawa, setuju dengan peringatannya. "Oke, Bruder. Kalau hujan, aku ke Desa Niang Todo saja."

Perjalanan dimulai setelah sarapan. Tujuanku adalah Wae Rebo, (lihat lokasi disini) desa adat yang terkenal dengan rumah adat Mbaru Niang-nya yang berbentuk unik, menjulang tinggi seperti menara. Dari Biara CSA, Wae Rebo seharusnya hanya berjarak 57 km, dan perjalanan ini biasanya ditempuh dalam waktu sekitar dua jam. Namun, seperti yang sudah kucurigai, perjalanan ini tidak semudah membalikkan telapak tangan—terutama karena jalan berbatu yang harus kutempuh. Dan benar saja, hujan turun begitu aku mulai mengemudi. Saking derasnya, rasanya seperti langit sedang mencurahkan air dari seluruh ember yang dimilikinya. Jalanan yang tadinya mulus berubah menjadi jalan berlumpur yang sangat licin. Aku merasa seperti tengah berada di ajang "drift" jalanan alam, hanya saja, tanpa keahlian mengemudi yang memadai.

"Mungkin lebih baik aku beli sepatu kayak yang dipakai di acara dirt rally deh," gumamku dalam hati. sambil berteduh dan menunggu hujan reda berjam-jam tanpa ada kepastian kapan reda. Namun, seperti yang disarankan Bruder Bayu, aku akhirnya memutuskan untuk mengubah rencanaku dan menuju Desa Niang Todo, yang jaraknya lebih dekat.

Setelah beberapa waktu hujan pun reda, perjalanan ku ubah menuju desa adat Niang Todo (lihat disini) dan akhirnya, Setelah beberapa waktu, aku akhirnya tiba di Desa Niang Todo, sebuah desa adat yang berjarak sekitar 43 km dari Biara CSA. Desa ini terasa sangat asri dan damai. Jalanan menuju ke sana tetap bergelombang, kadang aspal, kadang berbatu, namun pemandangan sepanjang perjalanan sungguh menyejukkan mata. Pepohonan besar yang tertutup kabut, udara segar pasca-hujan, dan kebun kopi yang melambai-lambai menjadi teman perjalanan yang menyenangkan. Desa ini dikelilingi oleh alam yang masih sangat alami, dan di kejauhan tampak pegunungan yang kokoh berdiri, seolah menjaga desa ini dengan penuh kehormatan.

Setibanya di Niang Todo, aku disambut oleh masyarakat desa dengan ritual adat yang hangat. Mereka menyambutku dengan senyum lebar, mengundangku untuk mencoba kopi Flores yang mereka tanam sendiri di kebun mereka. "Ini kopi asli dari sini," kata seorang wanita tua yang ramah, sambil menyodorkan cangkir kopi. "Khas Flores, nikmat sekali."

Ruteng Pu'u
Aku menerima kopi itu, merasa hangat menyusup ke dalam tubuh setelah perjalanan yang cukup menantang. Kami juga mengenakan sarung sebagai tanda penghormatan pada budaya setempat, sebuah simbol dari sambutan yang sangat dihargai.

Desa Niang Todo terkenal dengan rumah adat Mbaru Niang, yang berbentuk unik, menyerupai kerucut yang menjulang tinggi. Rumah-rumah ini saling berdampingan dengan tertib, seolah menunjukkan bagaimana kehidupan di desa ini penuh dengan keharmonisan. "Setiap rumah adat ini punya filosofi sendiri, loh," jelas seorang pria tua yang menemani kami. "Kami percaya bahwa rumah ini bukan hanya tempat tinggal, tetapi simbol dari hubungan antara manusia dan alam."

Aku merasa seperti berada dalam dunia yang berbeda. Alam yang begitu bersahaja, ditambah dengan masyarakat yang sangat menghargai tradisi, membuatku tersadar betapa pentingnya menjaga budaya agar tetap lestari.

Namun, meski betah berkeliling di desa ini, cuaca yang tidak bersahabat mengingatkan aku untuk segera melanjutkan perjalanan. Hujan mulai turun kembali, dan aku tidak ingin terjebak lebih lama di jalan yang semakin licin. Perjalanan pulang kembali penuh kejutan. Setelah meninggalkan Niang Todo, hujan semakin deras. Aku berhenti di sebuah pondokan kecil yang menjual bakso. Dingin dan hujan membuat makan bakso di sini terasa sempurna. Di dalam, suasananya hangat, dan di belakang meja, seorang penjual bakso yang ramah menyambutku.

"Mau bakso hangat?" tanyanya sambil tersenyum.

"Ya, bakso hangat, dong! Cuma bisa menemukan bakso di tengah hujan kayak gini," jawabku, setengah bercanda.

Aku duduk dan menyantap bakso yang rasanya luar biasa enak. Sambil menunggu hujan reda, aku ngobrol dengan penjual bakso. Ternyata, dia berasal dari Demak, Jawa Tengah. "Jauh juga ya, bisa bertemu orang Jawa di sini," kataku, tertawa.

Desa Ruteng Pu'u
"Ya, namanya juga hidup, Mas. Kadang kita pergi jauh untuk mencari sesuatu yang lebih baik," jawabnya sambil tertawa, seolah sudah terbiasa dengan perjalanan jauh yang membawanya ke Flores.

Setelah hujan mereda, aku melanjutkan perjalanan menuju Desa Ruteng Pu’u (lokasi lihat disini). Desa ini, meskipun tidak sepopuler Warebo atau Niang Todo, tetap memiliki daya tarik tersendiri. Terletak sekitar 16 km dari pusat kota Ruteng, desa ini terkenal dengan rumah adat yang khas dan pemandangan alam yang menakjubkan.

Setelah mengisi daftar tamu dan membayar retribusi, aku berkeliling di sekitar desa. Meskipun desa ini terkesan lebih sepi, ketenangan yang ada membuatku merasa nyaman. Aku mengabadikan beberapa foto di sekitar rumah adat yang kokoh dan indah (lihat disini). Walaupun tidak ada yang terlalu spektakuler di sini, suasana damai yang aku rasakan adalah hal yang berharga.

"Kadang perjalanan yang sepi memberi ruang bagi kita untuk merenung," kataku dalam hati, sambil menikmati pemandangan sekitar.

Akhirnya, aku kembali ke Biara CSA untuk beristirahat setelah seharian berkeliling. Cuaca yang tak selalu bersahabat, perjalanan yang penuh tantangan, dan bertemu dengan orang-orang baru membuat petualangan ini semakin berwarna. Terkadang, rencana yang sempurna bisa berubah, tetapi itu justru yang membuat perjalanan ini lebih berharga.

"Apa yang penting dalam perjalanan ini adalah perjalanan itu sendiri, bukan tujuan akhirnya," pikirku sambil menatap matahari yang perlahan tenggelam di balik pegunungan. Petualangan ini mengajarkan banyak hal—tentang kesabaran, menerima segala rintangan, dan tentu saja, menikmati setiap momen meski cuaca tidak selalu mendukung.

"Karena, yang terpenting bukanlah tujuan akhir, tetapi bagaimana kita menikmati perjalanan itu sendiri," ujarku pelan, mengingat kata-kata bijak yang selalu mengingatkanku untuk menikmati setiap detik dari perjalanan yang penuh warna ini.

Lihat Part Sebelumya :

Part I disini.
Part II disini.
Part III disini
Part IV disini
Part V disini
Part VI disini
Part VII disini
Part VIII disini
Part IX disini
Part X disini
Part XI disini
Part XII disini
Part XIII disini
Part XIV disini

0 komentar :

Posting Komentar