Perjalanan ke timur IX

Sumbaku, Sumbamu: Petualangan Mencari Tiket dan Menikmati Walakiri


Petualangan di Sumba: Dari Waingapu ke Aimere

Hari keempat di Pulau Sumba, hari ini terasa seperti melanjutkan babak petualangan yang penuh kejutan. Pagi ini, aku kembali terbangun di Hotel Jemmy (lihat disini), tempatku menginap, setelah tiga hari yang penuh aktivitas. Sumba, dengan segala keindahan dan tantangannya, tak pernah gagal memikat hati. Rangkaian perjalanan menuju Timur ini sudah memasuki hari ke sepuluh, dan aku masih merasa bahwa setiap langkah membawa cerita baru.

“Selamat pagi, dunia!” ucapku sambil membuka jendela kamar. Angin pagi menyapa lembut, memberi semangat untuk petualangan hari ini.

Aku memulai hari dengan sarapan sederhana di hotel, kemudian mandi dan bersiap. Tujuan utamaku hari ini adalah mencari informasi tentang penyebrangan kapal menuju Aimere, sekaligus membeli tiketnya. Jam menunjukkan pukul 8 pagi, dan perjalanan dimulai.

Mencari Petunjuk di Pelabuhan

Aku pun mengendarai motorku sendiri menuju Pelabuhan Rakyat Waingapu (lihat disini), pelabuhan pertama yang aku tuju. Setelah tiba, aku merasa sedikit bingung. Tak ada informasi yang jelas mengenai kapal menuju Aimere. Aku pun mulai bertanya-tanya ke beberapa orang di sekitar pelabuhan, namun sepertinya bukan ini pelabuhan yang aku cari.

Menunggu naik kapal

Akhirnya, aku memilih untuk melanjutkan hari dengan mengunjungi Toko Semar (lihat disini) untuk bertemu dengan teman lamaku, Koh Sinyo. Dia adalah sosok yang ramah, mudah bergaul, dan punya banyak koneksi di sini.

“Om! Apa kabar? sudah puas jalan-jalan ke sumba barat?” sambut Koh Sinyo dengan senyum lebar. “Hari ini mau kemana?”

“Hari ini mau cari tiket kapal ke Aimere, tapi pencarian informasi tentang kapal menuju Aimere kayaknya lebih sulit dari yang kubayangkan,” jawabku, agak frustasi.

Ternyata, Koh Sinyo malah tertawa. “Ah, pelabuhan di Waingapu itu ada tiga, Oom. Yang kamu cari? Aku juga nggak tahu.”

“Yah, berarti gue salah jalan lagi nih?” kataku sambil tertawa.

Kolaborasi untuk Menemukan Jalan

Koh Sinyo, yang selalu punya cara untuk menghubungi siapa saja, langsung menghubungi beberapa temannya. Dalam hitungan menit, informasi datang. “Oke, gue dapet info, bro! Kapal ke Aimere berangkat malam ini jam 08 malam. Pelabuhan Pelindo Waingapu dekat dermaga Pertamina. Tiketnya bisa dibeli di Jalan Matawai Amahu.”

“Akhirnya!” seruku dengan gembira. “ Terimakasih Koh, aku langsung ke loket tiket, yak!”

Tanpa menunggu lebih lama, aku langsung bergegas menuju lokasi penjualan tiket di Matawai Amahu. Setidaknya hari ini ada titik terang dalam pencarianku. Dengan semangat baru, aku melanjutkan perjalanan menuju lokasi penjualan tiket.

Di Tempat penjualan tiket ASDP (lihat disini) dijalan Matawai Amahu, aku sampai di tempat yang disebutkan oleh Koh Sinyo. Namun, begitu sampai, aku diberitahu kalau tiket hanya dijual sore hari, menjelang keberangkatan kapal. "Waduh, gagal lagi deh," gumamku sambil menghela napas. Setidaknya, aku tahu tempatnya dan waktu penjualannya.

Pantai Walakiri: Keajaiban Alam yang Menari

Setelah seharian penuh dengan pencarian tiket yang tak berhasil, aku memutuskan untuk mengunjungi Pantai Walakiri (lokasi disini). Pantai ini terkenal dengan pemandangannya yang unik, terutama karena pohon bakau yang tumbuh di sepanjang garis pantai. Apa yang membuat pantai ini istimewa adalah pohon-pohon bakau itu seolah “menari” saat angin laut berhembus. Batangnya yang ramping dan panjang bergoyang mengikuti arah angin, menciptakan pemandangan yang hampir seperti tarian alam.

Pantai Walakiri
Sesampainya di pantai, aku disambut dengan pasir putih yang lembut dan air laut yang biru jernih. Pemandangannya sungguh memukau. Tidak hanya ombak yang tenang dan langit yang cerah, tetapi juga pohon-pohon bakau yang terlihat seperti tangan-tangan raksasa yang melambai dengan anggun.

Aku berjalan pelan di sepanjang bibir pantai, merasakan butiran pasir halus yang menekan telapak kaki. Sambil menikmati pemandangan, aku ingat kata-kata Khalil Gibran, "Alam tidak pernah terburu-buru, namun segala sesuatu tercapai." Di sini, di Pantai Walakiri (lihat disini), segala sesuatu bergerak perlahan dengan cara yang begitu indah—tanpa paksaan, hanya mengikuti irama alam.

Aku memutuskan untuk lebih mendekat ke pohon-pohon bakau itu, mengamati betapa indahnya mereka ketika tertiup angin. Batangnya yang lentur bergerak seolah menari, memberi kesan kehidupan yang harmonis di tengah alam. Ini adalah salah satu pemandangan langka yang hanya bisa ditemukan di tempat-tempat tersembunyi seperti Walakiri.

Sambil berdiri di antara pohon bakau yang menari, aku merasa seperti berada dalam dunia yang terpisah dari kesibukan sehari-hari. Di sini, aku benar-benar merasakan keajaiban itu—keindahan yang tak terburu-buru, tetapi selalu hadir tepat pada waktunya.

Setelah beberapa waktu menikmati keindahan pantai, aku kembali menuju motor. Matahari mulai terbenam, memancarkan cahaya keemasan di atas laut. Aku melangkah dengan hati yang lebih ringan, membawa pulang kenangan tentang pantai yang mempesona ini, dengan pohon-pohon bakau yang menari bersama angin.

Meninggalkan Waingapu

Saat senja mulai merunduk, aku kembali ke rumah Koh Sinyo. Matahari yang hampir tenggelam memberikan warna jingga keemasan yang memanjakan mata. Seperti biasa, Koh Sinyo dan keluarganya menyambutku dengan hangat. Suasana rumah terasa begitu nyaman, penuh canda tawa dan cerita ringan yang mengalir begitu alami.

“Kamu bawa banyak cerita, ya? Pasti seru perjalananmu,” kata Koh Sinyo sambil menyodorkan teh botol kemasan yang diambil dari kulkasnya.
Aku menerima teh botol itu dengan senyum. “Seru, sih. Tapi kadang kayaknya aku lebih banyak gagal daripada berhasil. Hari ini aja, tiket kapal belum aku dapet.”

Koh Sinyo tertawa. “Itu baru sebagian, Oom! Gagal itu bagian dari perjalanan. Yang penting, kamu terus lanjut. 

Motor dan Kapal
Aku tertawa mendengar kata-kata bijak Koh Sinyo. Meskipun perjalananku hari ini penuh kegagalan kecil, aku merasa semangat untuk terus maju. Ada satu hal yang kutemui dalam setiap perjalanan—bukan tujuan akhir yang selalu penting, tapi setiap momen yang tercipta di sepanjang perjalanan.

Kami duduk bersama sambil bercerita tentang banyak hal, dari keluarga, kehidupan di Waingapu, hingga pengalaman-pengalaman seru kami di masa lalu. Waktu berjalan cepat. Jam sudah menunjukkan pukul 06 sore, dan aku mulai merasa harus bersiap untuk meninggalkan Waingapu.

“Om, gimana? Sudah siap-siap berangkat ke pelabuhan?” tanya Koh Sinyo sambil melihat jam dinding.

“Sudah siap, nih. Pamit dulu ya, Koh. Terima kasih sudah diterima baik banget selama aku di sini. Nggak tahu deh, perjalanan ini bakal gimana tanpa bantuanmu,” jawabku dengan tulus, sambil berdiri untuk merapikan barang-barang.

Koh Sinyo menyodorkan sebuah kantong plastik padaku. “Ini buat bekal cemilan di kapal, bro. Jangan lupa makan, ya. Nanti kelaperan di tengah laut!” katanya dengan senyum ramah.

Aku terharu dan berterima kasih atas perhatian Koh Sinyo. “Terima kasih, Koh. Nggak tahu deh, kamu luar biasa banget. Semoga suatu hari aku bisa balas kebaikan kamu.”

Setelah berpamitan dengan keluarga Koh Sinyo, aku melangkah keluar dan mengendarai motorku menuju loket tiket di Jalan Matawai Amahu. Meskipun hati agak berat meninggalkan Waingapu yang menyimpan banyak kenangan, aku tahu perjalanan harus terus berlanjut. Ada lebih banyak tempat untuk dijelajahi, lebih banyak orang untuk ditemui, dan lebih banyak cerita yang akan datang.

Aku mengendarai motor dengan perlahan, menikmati sejuknya angin sore. Jalanan mulai sepi, dan suasana di sekitar jalan menuju pelabuhan mulai terasa lebih tenang. Seperti kata Helen Keller, "Meskipun dunia ini penuh dengan penderitaan, ia juga penuh dengan kemenangan." Aku merasa setiap perjalanan membawa pembelajaran, dan meski ada banyak rintangan, aku akan terus maju.

Sesampainya di loket tiket, aku merasa lega bisa membeli tiket penyebrangan untuk malam ini. Di pelabuhan (lokasi disini), kendaraan-kendaraan sudah mulai mengantri dan lampu-lampu mulai menyala, memantulkan cahaya di permukaan air laut yang tenang. Aku memeriksa waktu—kapal menuju Aimere akan berangkat sekitar pukul 10 malam.

Pelayaran Menuju Aimere

Waktu terus berjalan, dan semakin malam, suasana di pelabuhan mulai berubah menjadi lebih tenang. Dengan tiket di tangan, aku menuju kapal. Di dalam kapal, suasana sudah ramai dengan penumpang lain yang menunggu keberangkatan. Aku memilih tempat tidur di bangsal besar, berharap bisa beristirahat dengan nyaman sepanjang perjalanan.

“Mungkin ini sudah waktunya untuk beristirahat,” kataku pada diri sendiri, sambil tiduran dikasur. “Tapi perjalanan ini belum berakhir. Masih ada banyak cerita di depan sana.”

Kapal akhirnya berangkat tepat pukul 10 malam, dan saat aku berbaring di atas kasur kecil, aku meresapi suara ombak yang menyapu lambung kapal. Perjalanan ini bukan hanya tentang tujuan, tapi juga tentang proses. Aku memejamkan mata, bersyukur atas segala pengalaman yang sudah kutemui di Waingapu, dan siap untuk babak berikutnya di perjalanan ke Aimere.

Lihat Part Sebelumya :

Part I disini.
Part II disini.
Part III disini
Part IV disini
Part V disini
Part VI disini
Part VII disini
Part VIII disini
Part IX disini
Part X disini
Part XI disini
Part XII disini
Part XIII disini
Part XIV disini
Part XV disini
Part XVI disini
Part XVII disini

0 komentar :

Posting Komentar