Perjalanan ke timur X

Mengikuti Jejak di Flores: Pemandangan, Masalah, dan Kebaikan yang Tak Terduga


Hari Sabtu pagi itu, matahari baru saja muncul dari balik bukit. Aku sudah berada di atas kapal menuju Flores. Tiba-tiba, kapal yang aku tumpangi membunyikan klaksonnya tiga kali, tanda akan segera sandar. Suara speaker interkom diruangan itupunterdengar, mengumumkan bahwa kapal akan segera sampai, dan bagi penumpang yang hendak turun di Aimere, diharapkan mempersiapkan diri.

Aku menyiapkan barang-barangku, siap melanjutkan perjalanan ke pulau yang terkenal dengan keindahan alamnya. Setelah beberapa menit, pintu Ram kapal dibuka, dan saatnya bagiku untuk turun dan melanjutkan petualangan ini.

“Selamat datang di Flores!” seruku dalam hati. Bagiku, Flores adalah tanah yang penuh misteri dan keindahan.

Setelah turun, aku memutuskan untuk sarapan terlebih dahulu di sekitar pelabuhan Aimere (lokasi disini). Di sebuah rumah makan sederhana, aku menikmati secangkir teh hangat dan sepiring nasi goreng yang nikmat. “Sederhana, tapi cukup mengenyangkan,” gumamku sambil mengusap perut. Aku juga sempat membersihkan diri sedikit di rumah makan itu, merasa segar kembali setelah perjalanan panjang.

Selesai sarapan, aku pun melanjutkan perjalanan ke Wolobobo Viewpoint (lokasi disini). "Jalanan Flores memang terkenal berkelok-kelok," pikirku. Keahlian dan fokus sangat diperlukan, dan sudah pasti sedikit keberanian untuk menaklukkan setiap tikungan tajam.

Wolobobo Viewpoint: Surga Alam di Puncak Bukit

Sesampainya di Wolobobo Viewpoint (lihat disini), aku langsung disambut oleh pemandangan yang menakjubkan. Dari puncak bukit ini, Gunung Inerie yang megah tampak seperti penjaga setia pulau Flores. Puncaknya yang sering diselimuti awan memberi kesan misterius, seakan mengundang siapa pun yang melihat untuk mendekat dan menyelami keindahan alam yang tersembunyi.

Wolobobo Viewpoint

“Wow, ini luar biasa!” seruku, tak bisa menyembunyikan kekagumanku. Pemandangan di sekitar memang sungguh mempesona. Dari ketinggian ini, aku bisa melihat lembah hijau yang terbentang luas, dengan sawah-sawah yang terhampar rapi di sepanjang lereng bukit. Angin yang sejuk membawa aroma tanah basah dan udara segar yang membuatku betah berlama-lama.

Aku mulai berjalan menuju spot foto yang sangat terkenal di sini. dengan latar belakang Gunung Inerie (lokasi disini) yang megah. Aku pun tidak mau ketinggalan. Kamera di tangan, aku mengabadikan momen indah ini. Setiap detik yang berlalu seolah semakin memperkuat kesan bahwa Flores adalah surga yang tersembunyi, penuh dengan pesona alam yang tak terlukiskan.

Pemandangan ini membuatku merenung sejenak, menyadari betapa kecilnya diri ini di tengah kebesaran alam semesta. "Seperti kata John Muir, ‘In every walk with nature one receives far more than he seeks.’" (Dalam setiap langkah bersama alam, seseorang menerima lebih dari yang dia cari). Benar sekali, tak ada yang bisa mengalahkan keindahan alam yang murni dan begitu dekat dengan kehidupan kita. Itu memberikan kedamaian yang tak bisa didapatkan dari hal lainnya.

Aku duduk sejenak di bangku yang disediakan untuk pengunjung. Angin berhembus pelan, sejuk, menenangkan hati. Suara burung terdengar jelas di kejauhan, seolah memberi musik alam yang menemani kedamaian di sekitar.

“Ini baru namanya liburan, bukan sekadar pergi ke tempat yang ramai dan hiruk-pikuk,” kataku pada diri sendiri sambil tersenyum.

Pemandangan yang menakjubkan ini mengingatkanku pada ayat Alkitab yang berbunyi, "Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya." (Mazmur 19:1). Di sini, di puncak Wolobobo, aku merasa seolah berada di tempat yang diberkati, seolah alam ini sendiri bercerita tentang kebesaran Tuhan.

Setelah cukup lama menghabiskan waktu di sini, aku pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Tetapi pemandangan Wolobobo Viewpoint dan kedamaian yang aku rasakan akan terus membekas dalam ingatanku.

Desa Adat Bena: Menyusuri Keunikan Budaya Flores

Setelah menikmati pemandangan yang menakjubkan di Wolobobo, perjalananku berlanjut menuju Desa Adat Bena (lokasi disini), sebuah desa yang terkenal akan kekayaan budaya dan tradisi yang masih lestari hingga kini. Desa ini terletak tidak jauh dari Wolobobo, namun perjalanan menuju ke sana memerlukan perhatian ekstra. Jalanan berkelok dan berbatu membuat setiap langkah terasa lebih menantang, namun itulah bagian dari pesona Flores yang membuatku tak sabar untuk segera sampai.

Desa Bena dengan gunung Inerie

"Ini dia, desa yang penuh dengan sejarah dan cerita," kataku dalam hati saat mulai memasuki desa adat Bena (lihat disini). Begitu sampai, aku disambut oleh suasana yang begitu tenang. Desanya tampak sederhana, dengan rumah-rumah adat yang masih kokoh berdiri, seolah menjaga tradisi dan nilai-nilai nenek moyang yang telah diwariskan selama berabad-abad. Di tengah-tengah desa, ada sebuah lapangan terbuka yang menjadi pusat kegiatan dan simbol dari kehidupan sosial masyarakat setempat.

Aku membayar tiket masuk dan kemudian mulai menjelajahi desa yang penuh dengan cerita. Salah satu hal yang langsung menarik perhatianku adalah keunikan struktur rumah adat yang disebut uma mbatangu. Rumah ini dibangun dengan atap yang tinggi dan bentuknya menyerupai piramida terbalik. Setiap rumah memiliki desain yang berbeda, mencerminkan status sosial dan peran pemiliknya dalam masyarakat. Rumah-rumah adat ini memiliki banyak simbol yang melambangkan keharmonisan dan keseimbangan alam, seperti bentuk atap yang menyerupai bentuk alam sekitar dan batu-batu besar yang disusun di sekitar rumah.

Aku berjalan lebih jauh, dan tiba di sebuah area dengan tumpukan batu yang disusun dengan rapi. Batu-batu ini bukan hanya sekadar hiasan, namun juga memiliki makna mendalam. Batu-batu tersebut merupakan tombak dan simbol penghormatan terhadap leluhur. Sejumlah tumpukan batu ini juga digunakan sebagai makam untuk para orang tua yang telah meninggal. Mereka yang sudah tiada diyakini tetap menjaga dan melindungi desa dari ancaman.

Makam adat

"Seperti yang dikatakan oleh Brene Brown, 'Courage starts with showing up and letting ourselves be seen.' Desa ini mengajarkan kita untuk menghadapi hidup dengan keberanian, menghadapi setiap tantangan dengan hati yang terbuka dan tanpa rasa takut, seperti mereka yang membangun kehidupan dengan penuh cinta dan kerja keras," pikirku sambil berkeliling.

Saat berjalan lebih jauh ke pusat desa, aku menemukan banyak penduduk yang sedang menenun kain ikat tradisional. Proses menenun ini bukan hanya sekadar pekerjaan, melainkan sebuah ritual yang turun-temurun dari generasi ke generasi. Setiap motif yang ada di kain ikat memiliki makna tertentu, menceritakan kisah hidup, perjuangan, dan harapan masyarakat Bena. Aku pun tak ketinggalan untuk membeli beberapa kain sebagai oleh-oleh dan kenang-kenangan perjalanan ini.

Tidak jauh dari situ, ada sebuah gua yang digunakan oleh warga untuk berdoa, sebuah tempat yang suci dan penuh kedamaian. “Aku akan meluangkan waktu sejenak untuk merenung dan berdoa di sini,” pikirku. Gua Maria yang ada di atas desa ini memang memiliki nuansa yang tenang dan penuh pengharapan. Aku mendaraskan doa permohonan dengan khusyuk, memohon agar setiap perjalanan hidupku diberkati dan diberikan kekuatan untuk terus maju.

Setelah berkeliling dan mengabadikan momen dengan latar belakang Gunung Inerie yang tampak jauh di sana, aku melanjutkan perjalanan. Namun, kehangatan dan keunikan budaya Bena tetap membekas dalam ingatan. Desa ini bukan hanya menyimpan kekayaan sejarah, tetapi juga menunjukkan kepada dunia bagaimana kebudayaan dan tradisi bisa hidup berdampingan dengan alam dan zaman.

Masalah Mesin: Dari Wolobobo ke Bajawa

Setelah mengelilingi desa dan mengabadikan momen, aku melanjutkan perjalanan menuju Ende, kota tujuan akhirnya hari ini. Tapi, seperti kata pepatah, "Jika ada yang bisa salah, itu akan salah." Oli mesin motorku bocor! Mungkin akibat benturan saat turun dari kapal tadi. "Aduh, apes banget!" seruku setengah kesal.

Desa adat Bena
Dengan motor yang rewel, aku bertanya pada warga sekitar mengenai bengkel terdekat. "Ke Bajawa saja, nak. Di sana ada bengkel lengkap, dan paling dekat dari sini" kata seorang bapak. Memang, Bajawa tidak searah dengan Ende, tapi apa boleh buat. Aku pun melanjutkan perjalanan ke Bajawa. Jalanan Flores yang berkelok-kelok dan menantang tak membuatku mundur. Aku tetap melaju, berharap menemukan bengkel yang bisa membantu memperbaiki motorku.

Sesampainya di Bajawa, aku langsung mencari bengkel terdekat. Setelah bertanya kepada warga setempat, akhirnya aku menemukan bengkel yang bisa menangani motorku. Di bengkel tersebut, seorang montir yang ramah menyambutku. Montir itu segera memeriksa motor dan mulai mengganti oli yang bocor. 

Setelah selesai dengan motor, aku kembali melanjutkan perjalanan menuju Ende. Walaupun masalah oli sudah teratasi, aku tetap merasa beruntung bisa bertemu orang-orang baik di sepanjang jalan.

Bengkel Ora Keri di Ende: Pertemuan yang Menyenangkan

Tibalah aku di Ende, kota tujuan berikutnya, di mana petualanganku berlanjut. Di sini, aku bertemu dengan montir sekaligus pemilik bengkel motor Ora Keri (lihat disini) dijalan Melati yang bernama Kakak Rinto. Begitu sampai, Kakak Rinto menyambutku dengan senyum lebar dan bertanya, “Wah, motor kamu sudah bertualang jauh, ya? Apa kabar, ada masalah apa kaka?”

Aku tertawa sambil menjawab, “Iya, Kak, tadi sempat kebocoran oli, tapi sudah dibenahi di Bajawa.”

Dengan cekatan, Kakak Rinto mengganti oli motor dan memperbaiki sedikit bagian yang rusak. Sambil bekerja, kami berbicara tentang perjalanan masing-masing. Setelah selesai memperbaiki motorku, Kakak Rinto yang ramah menawarkan untuk menginap di rumahnya. “Saya senang menjamu orang-orang yang touring. Semoga kamu betah di rumah saya yang sederhana,” katanya.

Malam di Rumah Kakak Rinto: Sebuah Keajaiban Kecil

Aku pun menerima tawaran Kakak Rinto dan menginap di rumahnya yang sederhana. Malam itu kami menghabiskan waktu dengan bercakap-cakap dan berbagi cerita perjalanan. Kakak Rinto bercerita tentang kehidupan di Ende dan tentang tempat-tempat yang harus dikunjungi di Flores. Aku merasa sangat diberkati bisa bertemu dengan orang sebaik dia di perjalanan ini.

Sebelum tidur, aku teringat akan ayat dari Alkitab yang selalu memberiku kekuatan: "Karena Tuhan Allahmu akan menyertai kamu ke mana pun kamu pergi" (Yosua 1:9). Ini adalah perjalanan penuh tantangan, namun aku merasa Tuhan selalu ada untuk memberikan pertolongan dan menyertai setiap langkahku.

Esok pagi, aku akan melanjutkan perjalanan menuju Danau Kelimutu, tetapi malam ini, aku tidur dengan hati yang damai, berterima kasih atas pertemuan indah yang aku alami hari ini.

Lihat Part Sebelumya :

Part I disini.
Part II disini.
Part III disini
Part IV disini
Part V disini
Part VI disini
Part VII disini
Part VIII disini
Part IX disini
Part X disini

0 komentar :

Posting Komentar