Kehangatan Sumba: Menelusuri Tradisi, Alam, dan Persahabatan
Hari Rabu, Hari Kedua di Sumba
Desa Adat Prai ijing: Perjalanan yang Ditemani Hujan
Dengan rasa segar dan lebih siap, aku melanjutkan perjalanan untuk menikmati sisa keindahan yang ada di Desa Prai ijing, meskipun sudah banyak waktu yang terbuang.
Desa Adat Ratenggaro: Sambutan Hangat dari Warga Lokal
Hari ini adalah hari keduaku di Pulau Sumba, dan hari kedelapan dalam rangkaian perjalanan keliling wilayah timur Indonesia. Dengan semangat baru, aku memulai perjalanan di pagi yang cerah. Rencananya, aku akan menuju ke bagian barat Pulau Sumba untuk menikmati keindahan alam dan budaya yang tersembunyi. Namun, sebelum itu, aku mendapat pesan singkat dari Koh Sinyo, pemilik Toko Semar (lihat disini), yang mengundangku untuk mampir ke rumahnya sejenak.
"Sebelum menuju ke barat, mampir dulu ya, ada hal yang ingin ku bicarakan denganmu," begitu pesan yang kudapat. Dengan senyum di wajah, aku pun memulai perjalanan dari penginapan di Sandlewood (lihat disini) menuju Toko Semar. Sesampainya di sana, aku disambut hangat oleh Koh Sinyo, seorang pria dengan senyum ramah dan semangat yang tak pernah pudar. Kami pun duduk santai di ruang tamu rumahnya yang sederhana, sambil menikmati teh pucuk.
"Jalan ke barat cukup menantang, ya. Ada banyak jalan berkelok dan jarak antar pom bensin yang jauh. Jangan lupa isi bensin yang cukup, dan jangan khawatir soal cuaca. Orang Sumba, meskipun cuaca sering tidak bersahabat, tetap ramah dan siap membantu," ujar Koh Sinyo sambil tertawa ringan.
"Betul, Koh. Saya sudah siap dengan motor penuh bensin!" jawabku dengan bercanda. "Tapi tetap saja, saya agak khawatir kalau hujan turun." "Ah, itu biasa di sini. Hujan datang begitu saja. Kalau sudah begitu, berteduh sebentar, terus jalan lagi," katanya dengan bijak. "Makasih, Koh. Sarapan dulu ya, biar tenaga penuh buat perjalanan nanti."
Setelah mengisi perut dan persiapan lainnya, perjalanan pun dimulai. Tujuan pertamaku adalah Bukit Wairinding (lihat disini), sebuah tempat yang terkenal dengan pemandangan alamnya yang menakjubkan. Perjalanan mengarah ke barat dengan jalanan yang berkelok, dan aku harus memastikan motor penuh bahan bakar karena pom bensin selanjutnya akan jauh.
Bukit wairinding |
Setibanya di Bukit Wairinding (lihat disini), aku terpesona oleh keindahan alam yang membentang. Perbukitan yang luas, dengan rerumputan hijau yang bergoyang lembut diterpa angin. Dari parkiran, aku berjalan kaki menuju puncak bukit yang tidak terlalu jauh namun cukup menantang.
"Wow, keren banget pemandangannya! memang benar kata orang-orang yang sudah pernah kesini" kataku dengan takjub. "Ini pasti salah satu spot foto terbaik dan paforit di Sumba."
"Memang, banyak wisatawan yang datang untuk melihatnya, apalagi sejak ada film yang melakukan syuting ditempat ini" jawab seorang penduduk setempat yang baru saja aku temui di puncak bukit. "Biasanya, mereka datang pagi atau sore. Siang agak panas, tapi pemandangannya tetap luar biasa."
Aku mengabadikan momen itu dalam foto, merasa sangat beruntung bisa berada di tempat yang begitu indah. Di kejauhan, bukit-bukit saling berpadu dengan langit biru yang jernih. "Indah sekali!" pikirku, sambil berpose untuk foto.
Setelah puas menikmati pemandangan, aku melanjutkan perjalanan menuju Desa Adat Prai ijing (lihat disini). Cuaca mulai berubah, mendung tebal menyelimuti langit. Jalan berkelok-kelok kembali menguji konsentrasiku, ditambah dengan hutan lebat yang sunyi. Ketika akhirnya sampai di desa ini, hujan deras turun begitu saja. Aku berteduh sebentar di bawah parkir kendaraan yang tersedia, menunggu hujan reda.
Saat mencari tempat berteduh dari hujan, aku bertemu dengan seorang warga lokal yang sedang menjaga loket tiket masuk sembari hujan berhenti.
"Harga tiket di sini beragam," jelasnya. "Untuk warga sekitar, harganya lebih murah. Untuk wisatawan dari luar Sumba, sedikit lebih mahal. Tapi tenang saja, uang yang Anda bayar akan membantu perawatan desa dan menjaga kelestarian budaya kami."
"Dan Hujan ini sering sekali turun begitu saja," kata Pak Iwan, seorang pria setengah baya yang ramah. "Di Sumba, kita tidak pernah tahu kapan hujan datang. Tapi yang pasti, setelah hujan reda, semuanya jadi lebih segar."
"Benar juga," jawabku, sambil tersenyum. "Saya sudah belajar banyak hari ini. Seperti ayat dalam Alkitab, "Segala sesuatu dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku." (Filipi 4:13), kita bisa menghadapi apapun, asal punya kekuatan dan niat."
Tak lama kemudian, hujan mulai reda, dan aku melanjutkan perjalanan menuju spot terkenal di Desa Praijing. Saat memasuki desa, jalanan mulai menanjak, dan aku melewati beberapa rumah adat dengan atap yang khas dan dinding dari anyaman bambu. Beberapa warga desa terlihat sibuk dengan aktivitas mereka, namun mereka tidak segan-segan menyapa. Namun, tepat di saat aku mencapai spot foto paling terkenal dan populer dari desa ini, hujan kembali turun. Kali ini, hujan tidak main-main—deras dan lebat. Aku pun segera berteduh di sebuah gazebo kecil yang terbuat dari susunan bambu ada di dekat situ.
Desa adat Prai ijing |
"Hujan memang tak bisa ditebak," kata seorang pria warga desa penjual makanan ringan, sambil menyodorkan secangkir kopi panas. "Tapi kalau sudah reda, pemandangan desa ini luar biasa."
Setelah hujan mulai mereda, aku pun tidak membuang waktu. "Ayo, jangan sampai terlewat momen ini!" pikirku, sambil mengeluarkan kamera dan berfoto di spot yang sudah terkenal itu. Pemandangan desa dengan rumah adat di latar belakang, dan ladang yang hijau terbentang luas, membuatku merasa seolah berada di dunia lain.
Setelah puas berkeliling dan mengabadikan momen indah, aku merasa sangat lelah. Dengan hujan yang kembali turun, aku memutuskan untuk berteduh lebih lama di loket tiket tadi. Sebelum aku sadar, aku merasakan mataku mulai berat. Dalam ketenangan desa yang sepi dan rintik hujan yang jatuh, aku tertidur di kursi kayu kecil yang ada di pos itu.
Tertidur di tempat yang sunyi ini memberi sensasi yang aneh—seolah dunia berhenti sejenak. Keheningan alam Sumba mengelilingi, dan aku terlelap tanpa khawatir.
Ketika aku terbangun, hujan sudah mereda. Waktu berlalu lebih cepat dari yang aku kira. "Wah, saya bisa tidur secepat itu?" pikirku sambil tersenyum sendiri.
Desa Adat Ratenggaro: Sambutan Hangat dari Warga Lokal
Setelah menikmati suasana di Desa Adat Prai ijing, aku melanjutkan perjalanan menuju tujuan berikutnya— Desa Adat Ratenggaro (lihat disini). Perjalanan menuju desa ini cukup menantang. Hujan yang turun sempat membuatku terhambat, namun aku tahu, desa ini pasti menawarkan sesuatu yang istimewa. Aku terus mengendarai motor, melewati jalan berliku yang semakin meliuk, dan sesekali harus berteduh di warung-warung kecil yang ada di sepanjang jalan. Rintik hujan yang turun menjadi teman perjalananku, dengan aroma tanah basah yang menenangkan.
Saat akhirnya aku tiba di lokasi, hujan mulai reda. Namun, yang paling mencuri perhatianku adalah pemandangan laut yang terbentang luas di depan mata. Aku berhenti sejenak, memarkirkan motor dan mengagumi pemandangan batu-batu besar yang terhampar di sekitar pantai. Batu-batu itu tertata rapi, sebagian besar berbentuk kotak dan tertutup batu besar di atasnya, seolah menjadi penanda atau simbol dari keberanian dan kekuatan.
Kubur batu |
"Indah sekali, ya, Pak?" tanyaku kepada seorang pria yang tampak sedang duduk di dekat batu. nama pria itu Bapak Martnius.
"Memang, Kakak," jawabnya dengan suara berat namun penuh kehangatan. "Batu-batu ini bukan sembarang batu. Mereka adalah makam-makam yang adat yang bagian dari warisan leluhur kami, yang mengingatkan kami akan pentingnya menjaga tradisi."
Pak Martinus mengajak aku untuk mengunjungi rumahnya. "Mari, ikut saya. Rumah saya tidak jauh dari sini. Anda bisa menginap malam ini jika mau. Kami akan menyambut Anda dengan penuh kehangatan."
Aku menerima tawarannya dengan senang hati. Perjalanan melewati jalanan desa yang sepi dan rumah-rumah adat yang berdiri kokoh memberi kesan tersendiri. Rumah adat di sini memiliki atap yang khas, terbuat dari alang-alang yang tinggi, memberikan perlindungan dari hujan dan panas.
Sesampainya di rumah Pak Martinus, aku disambut dengan hangat oleh anggota keluarganya. Sebagai tanda terima kasih, Pak Martinus dan keluarganya mengadakan pesta adat penyambutan. Meskipun sederhana, acara tersebut sangat bermakna. Mereka memotong ayam sebagai simbol penghormatan kepada tamu, Mereka segera menyiapkan makan malam sederhana namun lezat. dan aku diajak untuk ikut makan bersama mereka. Suasana hangat dan penuh kebersamaan menyelimuti malam itu.
Tapi meskipun cuaca yang kulalui tadi tidak bersahabat, suasana di dalam rumah Pak Martinus tetap penuh kehangatan. Kami duduk bersama, mendengarkan cerita-cerita kehidupan mereka yang sederhana namun penuh makna. Mereka bercerita tentang bagaimana mereka menjaga keseimbangan alam, serta mengajarkan anak-anak mereka untuk mengenal dan mencintai tradisi Sumba.
Malam itu, aku merasa benar-benar diterima. Kami bercengkerama dengan penuh tawa dan cerita. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Helen Keller, "Kehidupan adalah sebuah petualangan yang indah, dan setiap orang yang kita temui adalah bagian dari petualangan itu."
Saat malam semakin larut, aku merasa sangat nyaman dengan atmosfer desa yang damai. Aku memutuskan untuk beristirahat dan tidur di rumah Pak Martinus yang sederhana. Mereka menyediakanku kamar yang sederhana, namun sangat nyaman, dengan penerangan yang redup dan suara hujan yang jatuh pelan di atap rumah.
Sebelum tidur, aku merenung sejenak. "Alangkah indahnya hidup ini, bisa bertemu orang-orang yang penuh kasih dan ramah, dan belajar tentang cara mereka menjalani kehidupan dengan penuh rasa syukur." Aku pun terlelap dalam kedamaian malam itu, mempersiapkan diri untuk petualangan berikutnya di keesokan hari.
0 komentar :
Posting Komentar