Touring ke Bali

Petualangan Tanpa Henti: Dari Ijen ke Bali, Cerita Kita


Setelah petualangan yang mengesankan di Baluran (lihat disini) dan di Blue Fire Gunung ijen (lihat disini), kami tiba di rumah singgah dengan kelelahan yang tersisa. Topan dan Dika, yang sempat terjatuh dari motor dan masih merasakan sedikit sakit, langsung memutuskan untuk balas dendam dengan tidur semalaman. Tidak ada yang bisa menghalangi mereka untuk tidur pulas—bagaimanapun, besok adalah hari baru dan kami sudah merencanakan untuk menyebrang ke Pulau Bali. Sementara itu, kami yang masih terjaga sibuk merencanakan perjalanan hari berikutnya.

“Eh, besok kita harus bangun jam berapa?” tanya Ardi sambil menyiapkan perlengkapan motor.
“Jangan khawatir, jam 5 pagi udah harus siap berangkat,” jawabku, memandangi jam yang sudah menunjukkan pukul 11 malam.
“Serius nih? Bentar lagi aku jatuh tidur juga,” sahut Dika, sambil menguap lebar.
Kami semua tertawa, mengetahui bahwa kami semua sudah sangat lelah setelah perjalanan panjang sebelumnya.


Pagi yang Penuh Persiapan

Kira-kira jam 5 pagi, alarm berbunyi. Kami bangun, meskipun masih sangat lelah, dan mulai bersiap-siap. Mandi cepat, sarapan seadanya, dan segera mengemas barang-barang kami. Perjalanan ke Bali sudah menunggu. Kami berangkat dari rumah singgah, menuju Pelabuhan Ketapang. Dari sana, kami akan menyeberang ke Gilimanuk, Bali, untuk melanjutkan petualangan kami yang semakin seru.

perjalanan ke Bali

Sesampainya di Pelabuhan Ketapang, kami langsung menaiki kapal yang akan membawa kami ke Gilimanuk. Angin laut yang sejuk menyambut kami saat kapal mulai bergerak. Setelah beberapa saat, kapal sandar di Pelabuhan Gilimanuk. Semua terlihat berjalan lancar, sampai tiba-tiba kami dihadang oleh seorang oknum yang mempersoalkan pembayaran pajak motor kami. Salah satu motor kami ternyata belum membayar pajak, dan oknum itu mulai mendekati kami dengan sikap yang cukup mengancam.

ruamah pak sapto
"Aduh, jangan bilang motor kita bermasalah lagi," keluh Topan, yang sudah terlihat khawatir.

Saya menatap oknum itu dengan cermat. "Ada apa, Pak?" tanya saya dengan tenang.

"Motor ini belum bayar pajak, nggak bisa lewat," jawab oknum itu, menunjuk motor yang kami bawa.

Kami merasa sedikit panik, tetapi tidak mau terjebak dalam masalah yang bisa mempersulit perjalanan. Saya pun segera meminta Ardi untuk menghubungi Pak Sapto, seorang pimpinan di Rindam Udayana, yang kebetulan sudah kami kenal sebelumnya. Saya memberanikan diri untuk memberi tahu oknum tersebut bahwa kami sedang dalam perjalanan untuk mengunjungi Pak Sapto di rumah dinasnya di Tabanan.

"Pak Sapto? Di Tabanan?" tanya oknum itu dengan nada ragu.

"Betul, Pak. Kalau perlu, kami bisa hubungi beliau langsung," jawab saya dengan percaya diri.

Setelah percakapan tegang itu, oknum itu akhirnya memutuskan untuk membiarkan kami pergi. Tetapi sebelum kami melanjutkan perjalanan, salah satu oknum meminta "uang kopi" dengan alasan pagi itu belum sempat ngopi. Saya pun hanya bisa tertawa sambil menyerahkan Rp 20.000 kepada oknum tersebut, berharap masalah ini bisa segera selesai.

“Untuk kopi, ya,” katanya sambil menerima uang itu dengan senyum licik.

Melewati Pos Pemeriksaan Tanpa Masalah

Dari Gilimanuk, kami melanjutkan perjalanan ke Tabanan, melewati jalan-jalan Bali yang berkelok-kelok. Di tengah perjalanan, kami melewati dua pos pemeriksaan surat-surat kendaraan bermotor. Namun, dengan sedikit keberanian dan kebersamaan, kami semua pura-pura tidak melihat pos-pos itu dan terus melaju tanpa masalah.

“Ayo, pura-pura nggak lihat, lewat aja!” bisik Ardi dengan nada bergurau.

“Jangan kencang-kencang, nanti kelihatan!” jawab Rio, sambil menunduk seolah menghindari pandangan petugas.

Dengan hati-hati, kami pun berhasil melewati kedua pos pemeriksaan itu tanpa ditahan. Semua tampaknya berjalan lancar, meski sedikit tegang.

Istirahat di Rumah Pak Sapto di Rindam Udayana

Tibalah kami di rumah Pak Sapto di Rindam Udayana, sebuah kawasan yang penuh dengan atmosfer kedamaian dan kearifan lokal. Di sini, kami disambut hangat oleh Pak Sapto dan keluarga. Kami beristirahat sebentar, menikmati makanan ringan, dan secangkir teh yang begitu menenangkan setelah perjalanan panjang. Rumah Pak Sapto sangat unik, dengan sentuhan arsitektur tradisional Bali yang khas—baliho bambu, taman yang rapi, dan suasana yang begitu damai. Kami sempat mengelilingi rumah, melihat-lihat kebun dan berinteraksi dengan keluarga Pak Sapto.

Pantai Tanah Lot

“Ini rumah Bali yang sejati, ya, Pak?” tanya Topan, sambil mengagumi keindahan halaman rumah Pak Sapto.

“Iya, ini sudah turun-temurun,” jawab Pak Sapto sambil tersenyum. "Tradisi Bali itu penting untuk dipertahankan."

Kami semua mengangguk, terkesima dengan keindahan rumah yang sederhana namun penuh makna itu.

Tanah Lot: Keindahan Alam dan Budaya Bali

Setelah istirahat, kami melanjutkan perjalanan menuju salah satu tempat ikonik di Bali—Tanah Lot. Tempat ini sudah sangat terkenal dengan pura yang berdiri di atas batu karang besar, di tengah laut. Kami tiba di Tanah Lot menjelang sore, dan suasana sekitar pura terasa begitu magis. Ombak yang menghantam batu karang, pemandangan laut yang luas, dan keheningan sekitar pura membawa kami pada rasa kagum yang luar biasa.

Pintu tanah lot

"Tempat ini keren banget, ya!" seru Dika, yang sudah siap dengan kamera di tangan.

“Foto yuk, sebelum matahari terbenam!” ajak Ardi, sambil menarik kami ke arah pura.

Kami berkeliling, menikmati keindahan alam, dan tentu saja, berfoto untuk mengabadikan momen indah itu. Suasana senja yang perlahan mulai turun memberi nuansa romantis, membuat kami merasa semakin dekat dengan keindahan Bali.

Pantai Kuta dan Sunset yang Spektakuler

Setelah puas di Tanah Lot, kami melanjutkan perjalanan menuju Pantai Kuta. Seperti biasa, Kuta tidak pernah sepi dari pengunjung. Suasana pantai yang ramai, dengan ombak yang tidak terlalu besar, membuat kami merasa nyaman untuk berjalan-jalan di sepanjang tepi pantai. Kami duduk di pasir, menikmati suasana sore hari, sambil menyaksikan matahari terbenam. Sunset di Pantai Kuta memang selalu memukau, dengan cahaya oranye keemasan yang memancar di atas laut, menciptakan panorama yang menakjubkan.

Pantai Kuta

"Sunset seperti ini yang kita butuhkan," kata Topan, sambil menatap horizon dengan tatapan jauh.

"Tenang aja, kita masih banyak waktu buat jalan-jalan," balas Rio, tersenyum lebar.

Kami semua mengangguk, merasa bersyukur bisa berada di tempat yang begitu indah bersama sahabat-sahabat terbaik.

Setelah menikmati sunset, kami melanjutkan perjalanan ke Jalan Legian yang terkenal dengan keramaiannya. Di sepanjang jalan, banyak kafe, toko, dan tempat hiburan yang memikat. Kami berjalan kaki, menikmati suasana malam yang semakin hidup, sambil bercanda satu sama lain. Tak ketinggalan, kami berhenti sejenak di Monumen Legian untuk berfoto. Sebuah monumen kecil di jalan ini menjadi saksi perjalanan kami yang penuh cerita, meskipun hanya dalam sekejap.

Monumen Legian

Setelah berjalan-jalan, kami menuju Krisna di Jalan Sunset Road, sebuah tempat yang terkenal sebagai pusat oleh-oleh Bali. Kami membeli beberapa barang khas Bali—oleh-oleh yang nanti akan kami bawa pulang untuk keluarga dan teman-teman. Dari kaos Bali, patung-patung kecil, hingga pernak-pernik lainnya, semua kami borong. Meskipun ada sedikit kelelahan, namun suasana toko yang ramai dan penuh warna membuat kami merasa semangat kembali.

“Ini, buat Mama aku!” ujar Ardi sambil memilih kerajinan tangan Bali yang cantik.

Jalan Legian

Sekitar malam hari, kami mulai kembali menuju Gilimanuk untuk menyeberang kembali ke Banyuwangi. Perjalanan pulang ini tidak kurang serunya. Di tengah jalan, kami kembali melewati dua pos pemeriksaan STNK. Kali ini, kami tetap melaju tanpa berhenti, berharap keberuntungan berpihak pada kami lagi. Dan seperti sebelumnya, kami berhasil melewati pos-pos itu tanpa masalah.

“Pura-pura nggak lihat, guys!” bisik Dika dengan senyum nakal.

Sesampainya di Pelabuhan Gilimanuk, kami naik kapal dan berlayar kembali menuju Banyuwangi. Di kapal, Topan dan Ardi akhirnya tertidur lelap di dek kapal, kelelahan setelah perjalanan panjang. Sementara itu, kami yang terjaga duduk bersama, mengenang semua momen seru selama perjalanan.

“Puas banget, ya, kita bisa jalan-jalan bareng begini,” kata Topan, sambil melihat pemandangan laut yang menggelap.

Sesampainya di rumah singgah, kami langsung memberikan beberapa oleh-oleh kepada Mas Rahmad, yang telah setia menjaga tempat kami menginap. Kami bersyukur bisa berbagi cerita dan sedikit kebahagiaan dengan orang-orang yang sudah sangat baik kepada kami selama perjalanan.

Sunset di kuta

"Terima kasih banyak, Mas Rahmad! Ini oleh-olehnya," kata saya sambil menyerahkan beberapa barang.

Mas Rahmad tersenyum lebar. “Kalian hebat! Semoga perjalanan kalian selalu menyenangkan."

Namun, ada satu hal lagi yang perlu kami bicarakan dengan Mas Rahmad. Tentang motor yang sempat bermasalah di pelabuhan Gilimanuk.

"Mas Rahmad, tadi di Gilimanuk ada masalah sedikit soal motor yang jatuh kemarin," kata saya, sedikit cemas. 

Mas Rahmad hanya tersenyum bijak. “Jangan khawatir, karena kalian teman saya. Ini hanya musibah kecil. Lebih baik kalian beristirahat, karena besok perjalanan kalian masih panjang. Semoga perjalanan selanjutnya lancar.”

Kuta

Kami semua merasa lega mendengar itu. Setelah bercerita sedikit lebih banyak dengan Mas Rahmad, kami akhirnya memutuskan untuk beristirahat. Besok, petualangan kami akan berlanjut, kali ini menuju Semarang.

Keesokan harinya, kami memulai perjalanan pulang dengan kereta dari Stasiun Karangasem, Banyuwangi. Setelah pengalaman panjang, dari Gunung Ijen, Baluran, hingga Bali, kami siap kembali ke rumah. Kereta yang membawa kami menuju Yogyakarta terasa seperti penutup yang sempurna untuk petualangan kali ini. Dengan hati penuh kenangan dan cerita seru, kami tiba di Yogyakarta, melanjutkan perjalanan pulang ke Semarang.

Perjalanan ini tidak hanya mengajarkan kami tentang keindahan alam, tetapi juga tentang arti persahabatan, kesabaran, dan bagaimana mengatasi tantangan bersama. Kini, kami sudah tidak sabar menantikan petualangan berikutnya.

Part sebelumnya : Part 1, Part 2

0 komentar :

Posting Komentar