Ketika membicarakan masa kolonial Belanda di Indonesia, seringkali kita melihatnya hanya dalam bingkai penjajah dan terjajah. Namun, kisah sebenarnya jauh lebih kompleks. Buku Pribumi Jadi Letnan KNIL karya Petrik Matasik membuka sisi yang jarang dibicarakan: bagaimana orang-orang pribumi justru menjadi bagian dari tentara kolonial Belanda, bahkan ada yang naik pangkat hingga menjadi perwira.
Inilah kisah tentang pilihan sulit, dilema identitas, dan bagaimana sejarah tidak pernah sesederhana hitam-putih.
![]() |
| Pribumi Jadi Letnan KNIL |
Isi dan Hal-Hal Menarik Tiap Bab
Bab I – KNIL dan Perannya
Buku dibuka dengan gambaran tentang KNIL sebagai tulang punggung kekuasaan Belanda. KNIL bukan sekadar pasukan, tetapi juga simbol dominasi kolonial. KNIL terdiri dari campuran bangsa—Belanda, Indo-Eropa, dan pribumi.
Bab II – Pribumi dalam Tentara Kolonial
Dikisahkan bagaimana banyak pemuda pribumi masuk KNIL, sebagian besar karena faktor ekonomi. Gaji tetap, status, dan jaminan hidup membuat KNIL menarik di mata rakyat miskin. Ada kisah individu-individu yang awalnya hanya prajurit biasa, namun kemudian menanjak.
Bab III – Jalan Sulit Menjadi Perwira
Mencapai pangkat letnan bagi pribumi bukanlah perkara mudah. Sistem kolonial membatasi jabatan perwira untuk orang Eropa. Hanya yang benar-benar unggul bisa menembus batasan ini. Saat seorang pribumi berhasil naik pangkat, ia menjadi simbol ambiguitas—dianggap hebat sekaligus dicurigai bangsanya sendiri.
Bab IV – Dilema Identitas
Banyak letnan pribumi hidup dalam dilema. Di satu sisi mereka mengabdi pada Belanda, di sisi lain mereka tahu dirinya bagian dari bangsa yang terjajah. Buku ini menampilkan sisi manusiawi: kegelisahan, kebanggaan, sekaligus rasa bersalah yang mereka alami.
Bab V – Masa Pendudukan Jepang
Ketika Belanda kalah pada 1942, banyak anggota KNIL pribumi mengalami perubahan drastis. Sebagian ditawan, sebagian beralih, sebagian kembali ke masyarakat. Ini menjadi momen jatuhnya status yang sebelumnya begitu dibanggakan.
Bab VI – Revolusi dan Kekacauan
Setelah Proklamasi 1945, banyak mantan KNIL pribumi ditarik lagi oleh Belanda untuk menghadapi republik. Di sinilah dilema semakin tajam: melawan bangsanya sendiri atau mempertahankan profesi. Kisah ini menunjukkan betapa rumitnya posisi mereka, karena keputusan apa pun mengandung risiko.
Bab VII – Warisan dan Refleksi
Bab penutup membahas warisan para letnan pribumi KNIL. Nama mereka jarang disebut dalam sejarah resmi, seakan-akan peran mereka dihapus. Buku ini mengingatkan bahwa sejarah tidak hitam-putih. Ada banyak zona abu-abu yang justru memperkaya pemahaman kita.
