Petualangan Solo: Pecel, Batik, dan Doa di Tengah Hujan
Minggu pagi, 15 Desember 2024, kami, tim PSE yang terdiri dari aku, Hendry, Susilo, Lia, Siswanti, dan Risa, akhirnya memulai perjalanan yang sudah lama kami rencanakan. Perjalanan kali ini bukan hanya sekedar liburan biasa, tapi juga perjalanan untuk menyegarkan pikiran dan berziarah. Kami sepakat berangkat jam 7 pagi, tapi seperti biasa, kebiasaan "terlambat" pun tidak bisa dihindari. "Nih, kalau nggak gerak sekarang, bisa jadi siang deh!" seruku sambil mengecek jam di tangan, yang sudah lebih dari 30 menit melewati jadwal.
Perjalanan dimulai dengan semangat, meskipun kami baru bisa berangkat sekitar setengah jam setelah yang direncanakan. Tujuan pertama kami adalah Gua Maria Mawar Musuk yang terletak di daerah Boyolali. Sebelum sampai, kami memutuskan untuk berhenti sejenak di kota yang terkenal dengan soto segarnya. "Ayo, kita makan soto dulu! Perjalanan jauh pasti butuh tenaga!" kata Hendry sambil sudah melangkah ke warung soto yang terkenal di sana. Kami duduk berkelompok, menikmati semangkuk soto yang lezat sambil bercanda. “Kadang kebahagiaan itu hanya butuh makanan enak, teman-teman!” aku berpikir, teringat pada kata-kata dari Albert Einstein: “Life is like riding a bicycle. To keep your balance, you must keep moving.”
Gua Maria Musuk |
Setelah perut kenyang dan tawa sudah memenuhi meja makan, kami melanjutkan perjalanan menuju Gua Maria Mawar Musuk (lihat disini). Gua ini, yang terletak di kaki bukit, menawarkan ketenangan yang sangat berbeda dari kehidupan sehari-hari kami. Begitu sampai, suasana yang damai langsung menyambut kami. Di tempat yang asri ini, kami mendaraskan doa Rosario, berdoa untuk diri sendiri dan orang-orang yang kami kasihi. Aku teringat sebuah ayat Alkitab: "Tetaplah bersukacita dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa." (Roma 12:12). Semua terasa lebih tenang di sini, jauh dari keramaian dunia.
Kami menghabiskan beberapa saat di dalam gua, berdoa, menikmati udara segar, dan tentu saja berfoto bersama untuk mengabadikan momen ini. Setelah cukup puas, kami melanjutkan perjalanan ke Pedan, Klaten, untuk membeli batik tulis lurik khas daerah tersebut. "Saatnya berburu batik! Semoga ada yang keren buat seragam kita!" kata Lia dengan antusias, memimpin kami menuju pusat penjualan batik "Prasaja".
Batik Prasaja |
Saat tiba di sana, suasana semakin ceria dengan tawa dan obrolan kami. Hendry memilih batik dengan penuh pertimbangan, sementara Susilo bercanda, “Eh, kalau aku pilih batik ini, aku jadi modelnya ya!” Semua tertawa, dan aku tersenyum melihat bagaimana perjalanan kami bukan hanya tentang tempat-tempat yang kami kunjungi, tetapi lebih kepada kebersamaan yang kami nikmati. Kami membeli batik dan melanjutkan perjalanan.
Setelah itu, rencana kami berikutnya adalah melanjutkan perjalanan ke Solo, yang menurutku akan penuh dengan petualangan seru. "Solo, nih! Mungkin ada batik yang lebih keren lagi," aku dan Hendry sempat berpikir begitu. Tapi siapa sangka, sesampainya di Pasar Gede, Solo, kami menemukan kenyataan yang sangat berbeda dari ekspektasi. Ternyata, tujuan kami ke Solo bukan untuk membeli batik lagi, melainkan untuk menikmati nasi pecel dan es dawet yang legendaris.
"Jadi, kita ke Solo cuma buat makan pecel?" tanya Susilo, agak bingung, namun tetap tertawa. Kami semua tertawa, menyadari bahwa perjalanan ini semakin seru dan penuh kejutan. "Wah, jauh-jauh ke Solo hanya untuk makan pecel?" gumamku, sambil menikmati sepiring nasi pecel yang rasanya memang enak sekali. Terkadang, kebahagiaan itu datang dari hal-hal sederhana. "Soto Boyolali, pecel Solo, dan tawa kita... ini sudah cukup," ujar Hendry sambil menyeruput es dawet segar. Aku teringat pada kata-kata Henry David Thoreau: “The price of anything is the amount of life you exchange for it.” Perjalanan ini, meski hanya berfokus pada makanan, tetap memberikan kami banyak kebahagiaan.
Gua Maria Watu Lawang |
Setelah puas makan dan menikmati suasana Pasar Gede, kami melanjutkan perjalanan menuju Gua Maria Watulawang di Simo, Boyolali. Namun, perjalanan kali ini penuh tantangan. Hujan deras mulai turun dengan lebatnya, membuat jalanan semakin licin. "Semoga sampai dengan selamat," kata Risa, yang terlihat sedikit khawatir, namun kami tetap melaju, penuh doa dan semangat.
Akhirnya, kami sampai di Gua Maria Watulawang (lihat disini) sekitar jam 16:30 Wib, sebuah tempat yang menawarkan ketenangan luar biasa. Gua yang terletak di tengah alam pedesaan ini membuat kami merasa seolah-olah berada di dunia yang jauh dari segala hiruk-pikuk. Kami duduk di dalam gua, mendaraskan doa pribadi masing-masing, dan merasakan kedamaian yang begitu dalam. “Tempat ini bikin hati tenang banget,” kata Lia, sambil memandang sekitar dengan mata penuh rasa syukur. Aku pun teringat lagi pada ayat Alkitab yang menguatkan: "Tetaplah bersukacita dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa." (Roma 12:12).
Kerahiman Ilahi |
Hujan yang terus mengguyur membuat suasana semakin magis, dan kami merasa lebih dekat dengan Tuhan. Seperti kata pepatah: "Kadang kita perlu hujan untuk menghargai pelangi." Kami berdoa bersama, berterima kasih atas perjalanan yang telah dilalui, dan memohon agar Tuhan terus memberikan kekuatan dalam setiap langkah hidup.
Sekitar pukul 18:00 Wib, kami mulai bersiap pulang menuju Semarang. Hujan deras kembali menemani perjalanan pulang kami, namun kami tetap merasa aman dan tenang. Sesampainya di Semarang, kami bersyukur bisa sampai dengan selamat meski hujan tak berhenti sepanjang perjalanan.
"Akhirnya sampai juga," kata Lia sambil menghela napas lega. Kami semua tersenyum, merasa puas dengan perjalanan yang penuh kejutan ini. Aku pun teringat kata mutiara yang pas untuk menggambarkan perjalanan ini: “The journey may be long, but with friends, every step is worth it.” Perjalanan ini bukan hanya tentang tempat yang kami tuju atau makanan yang kami nikmati, tetapi lebih kepada kebersamaan dan tawa yang kami bagi bersama.
Dan seperti kata pepatah: “Hidup ini seperti perjalanan, nikmatilah setiap langkahnya.”
Petualangan healing kami ini, meski penuh dengan kejutan—seperti nasi pecel di Solo dan hujan yang menemani—tetap menjadi kenangan indah yang akan selalu kami ingat, karena dalam setiap langkah, kami menemukan kebahagiaan dan kedamaian.
0 komentar :
Posting Komentar