Njoto: Peniup Saksofon di Tengah Prahara

Njoto: Peniup Saksofon di Tengah Prahara


Nama Njoto mungkin tidak sepopuler Aidit atau Lukman ketika membicarakan PKI. Namun, lewat buku Njoto: Peniup Saksofon di Tengah Prahara, kita diajak mengenal sosok yang unik: seorang politisi, orator, penulis, sekaligus musisi jazz yang memainkan saksofon di tengah gejolak politik Indonesia 1950–1960-an.

Buku ini tidak hanya membahas ideologi dan politik, tetapi juga sisi humanis Njoto—seorang yang mencintai seni, musik, dan keluarga, namun akhirnya terjebak dalam badai sejarah.

Njoto: Peniup Saksofon di Tengah Prahara

Bab I – Akar Kehidupan

Njoto lahir di Jember tahun 1925. Masa kecilnya ditempa oleh pendidikan sederhana namun penuh rasa ingin tahu. Ia tumbuh sebagai sosok yang haus ilmu, suka menulis, dan menyukai musik sejak muda. sejak muda, Njoto menunjukkan dua wajah: aktivis politik dan seniman yang halus perasaannya.

Bab II – Jalan Menuju PKI

Sebagai mahasiswa, Njoto aktif menulis di berbagai media. Pandangannya yang kritis membawanya masuk ke lingkaran Partai Komunis Indonesia (PKI) bersama Aidit dan Lukman. Ia bukan hanya organisator, tapi juga otak intelektual yang memodernisasi propaganda PKI lewat tulisan dan media massa.

Bab III – Orator dan Intelektual PKI

Njoto dikenal sebagai orator cerdas, mampu memikat massa dengan kata-kata. Ia juga menulis esai-esai yang berpengaruh di Harian Rakjat. berbeda dari citra kaku seorang komunis, Njoto justru tampil santun, humoris, dan elegan dalam berpidato.

Bab IV – Sang Peniup Saksofon

Di balik kiprah politiknya, Njoto adalah seorang musisi jazz yang lihai memainkan saksofon. Musik menjadi pelarian dan ruang ekspresi personal di tengah kesibukan politik. jarang ada politisi besar yang juga dikenal sebagai seniman sejati—Njoto adalah pengecualian.

Bab V – Cinta dan Keluarga

Buku ini juga mengungkap sisi pribadi Njoto: cintanya kepada istrinya, Utami Suryadarma, dan keluarganya. Meskipun terjun dalam politik keras, ia tetap lembut dan penuh kasih pada keluarga. kisah cinta Njoto menambah dimensi manusiawi yang jarang ditulis tentang tokoh PKI.

Bab VI – Di Tengah Prahara 1965

Peristiwa G30S 1965 menghantam kehidupan Njoto. Sebagai salah satu pimpinan PKI, ia ikut menjadi target. Namun, berbeda dengan Aidit yang tegas ideologis, Njoto digambarkan lebih kompromis dan mencari jalan tengah. ada spekulasi bahwa Njoto sempat berseberangan dengan garis keras PKI menjelang 1965.

Bab VII – Akhir Hayat dan Warisan

Njoto akhirnya menjadi korban gelombang politik pasca-G30S. Ia ditangkap dan dieksekusi pada akhir 1965. Meski demikian, warisan intelektual, tulisan, dan sisi seninya tetap hidup dalam ingatan. Njoto adalah pengingat bahwa sejarah tidak pernah hitam-putih; selalu ada sisi manusiawi di balik ideologi.