Natsir: Politik Santun di Antara Dua Rezim

Natsir: Politik Santun di Antara Dua Rezim


Nama Mohammad Natsir tak bisa dilepaskan dari sejarah politik Indonesia. Ia adalah tokoh Islam, pemimpin Masyumi, dan salah satu Perdana Menteri RI. Namun yang membuatnya istimewa bukan hanya posisi politiknya, melainkan sikap santunnya dalam berhadapan dengan dua rezim besar: Soekarno dan Soeharto.

Buku Natsir: Politik Santun di Antara Dua Rezim menyingkap perjalanan hidup, kiprah politik, hingga pemikiran Natsir yang konsisten menjaga nilai Islam tanpa kehilangan adab dalam berpolitik.

Natsir: Politik Santun di Antara Dua Rezim


Bab I – Akar Kehidupan dan Pendidikan

Natsir lahir di Alahan Panjang, Sumatera Barat, tahun 1908. Pendidikan awalnya bercampur antara tradisi Islam dan sekolah Belanda. Dari sini lahirlah pemikiran moderat: teguh dalam iman, tetapi terbuka dengan ilmu Barat. Natsir muda sudah menunjukkan minat besar pada dunia tulis-menulis dan musik klasik Barat, memperlihatkan sisi intelektual yang luas.

Bab II – Jalan Pergerakan

Sejak bergabung dengan Jong Islamieten Bond (JIB), Natsir aktif dalam gerakan pemuda Islam. Ia kemudian meniti jalan politik lewat Partai Masyumi, yang kelak menjadi partai Islam terbesar di era demokrasi parlementer. Natsir bukan sekadar organisator, tapi juga orator ulung dan penulis brilian yang menyalurkan gagasan lewat koran dan majalah.

Bab III – Perdana Menteri dan Mosi Integral

Pada 1950, Natsir mengajukan Mosi Integral di parlemen yang berhasil mengembalikan Indonesia dari bentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ia kemudian dipercaya menjadi Perdana Menteri. peran Natsir di balik lahirnya NKRI sering luput dari sorotan, padahal jasanya sangat fundamental.

Bab IV – Bersama Soekarno: Antara Kerja Sama dan Kritik

Natsir mendukung Soekarno dalam masa-masa awal, tetapi bersikap kritis terhadap kebijakan yang dianggap terlalu condong ke komunisme. Hubungan keduanya unik: bersahabat secara pribadi, namun berseberangan dalam politik. meski berbeda tajam, Natsir tidak pernah kehilangan kesantunan, bahkan tetap menghormati Soekarno hingga akhir hayatnya.

Bab V – Masa Soeharto: Oposisi dengan Adab

Di era Orde Baru, Natsir kembali memilih jalur oposisi. Ia terlibat dalam Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) dan mengkritik kebijakan pemerintah, namun tetap dengan cara yang santun dan konstruktif. Natsir menolak kompromi yang menggadaikan prinsip, tetapi juga tidak menggunakan bahasa kasar atau agitasi keras.

Bab VI – Warisan Pemikiran dan Keteladanan

Natsir wafat pada 1993, meninggalkan warisan berupa pemikiran Islam modern yang rasional, dialogis, dan tetap berakar pada Al-Qur’an. Ia dikenang bukan hanya sebagai politisi, tetapi juga pendidik, da’i, dan teladan moral. santunnya dalam berpolitik menjadi pelajaran berharga di tengah kerasnya dunia politik Indonesia hingga kini.