Kitab Merah: Kumpulan Kisah Tokoh G30S


Sejarah kelam Indonesia pada 1965 masih menyisakan banyak misteri. Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) bukan hanya soal kudeta yang gagal, tetapi juga kisah tentang manusia-manusia yang terlibat di dalamnya—dengan segala ideologi, ambisi, ketakutan, dan tragedinya.

Buku Kitab Merah: Kumpulan Kisah Tokoh G30S menghadirkan potret tokoh-tokoh kunci dalam peristiwa tersebut. Alih-alih hanya melihat G30S sebagai “dalang tunggal” atau narasi hitam-putih, buku ini membuka kisah lebih luas siapa saja yang terlibat, bagaimana latar belakang mereka, serta bagaimana sejarah mencatat (atau melupakan) mereka.

Kitab Merah


Isi dan Hal Menarik Tiap Bab

Bab I – D.N. Aidit

Ketua PKI, dianggap dalang utama G30S. Namun buku ini menyoroti Aidit sebagai manusia: pemuda cerdas dari Belitung yang menjadi pemimpin partai terbesar di luar Uni Soviet dan Tiongkok. Aidit digambarkan bukan sekadar tokoh politik, tetapi juga pribadi yang penuh kontradiksi—pemberani sekaligus perhitungan.

Bab II – Njoto

Salah satu intelektual PKI, sosok yang lebih humanis dibanding Aidit. Njoto dikenal sebagai penulis, orator, dan pemikir yang mencoba menjembatani ideologi dengan seni dan budaya. Ia bahkan terlibat dalam dunia musik dan sastra, menjadikannya tokoh “berwajah ganda”: revolusioner sekaligus budayawan.

Bab III – M.H. Lukman

Pemimpin PKI lainnya yang berperan penting dalam strategi politik partai. Lukman lebih banyak bergerak di jalur politik praktis dan organisasi massa, menjadikannya motor penggerak PKI di lapangan.

Bab IV – Letkol Untung

Komandan Batalyon Tjakrabirawa yang memimpin aksi penculikan jenderal. Buku ini mengisahkan latar belakang militernya dan bagaimana ia terseret dalam pusaran politik yang lebih besar dari dirinya. Letkol Untung awalnya bukanlah tokoh ideologis, tetapi militer profesional yang kemudian dilibatkan dalam operasi penuh risiko.

Bab V – Tokoh-Tokoh Lain

Buku ini juga menyinggung tokoh seperti Sjam Kamaruzzaman (operator politik PKI), Sudisman, dan peran-peran kecil yang sering terabaikan sejarah resmi. Dari mereka kita melihat betapa kompleksnya jaringan yang membentuk G30S—bukan sekadar perintah tunggal dari satu orang.

Bab VI – Tragedi dan Akhir

Eksekusi, penangkapan, dan penghapusan nama tokoh-tokoh ini dari sejarah resmi. Mereka ditangkap, dibunuh, atau hidup dalam stigma hingga generasi berikutnya. Buku ini menghadirkan sisi manusiawi bahwa di balik label “pengkhianat bangsa”, mereka juga manusia dengan keluarga, harapan, dan mimpi yang hancur.

Bab VII – Warisan Sejarah

Buku ini menutup dengan refleksi bagaimana G30S membelah sejarah Indonesia. Narasi resmi menuding PKI, sementara narasi alternatif menunjukkan adanya peran militer dan intervensi asing. Buku ini mengajak pembaca untuk tidak menerima sejarah secara mentah, melainkan berpikir kritis.