Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa – Membongkar Duka di Balik Wangi Kopi Priangan
Bayangkan secangkir kopi hangat di pagi hari. Aroma khasnya menenangkan, tetapi siapa sangka, sejarah kopi di Nusantara justru lahir dari keringat, air mata, dan penderitaan jutaan petani yang dipaksa bekerja tanpa upah layak. Inilah yang dibongkar Jan Breman dalam bukunya Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa.
Bukan sekadar kisah ekonomi kolonial, buku ini adalah rekam jejak bagaimana sistem kerja paksa di Priangan menjadi fondasi kekayaan Belanda, sekaligus luka panjang bagi rakyat Jawa Barat.
![]() |
| Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa |
Isi & Poin-Poin Penting Tiap Bab
1. Awal Budidaya Kopi di Priangan
VOC membawa bibit kopi dari Malabar dan menjadikannya komoditas emas dunia. Priangan dipilih karena tanahnya subur, tapi keberhasilan ini dibangun dari kerja paksa petani Sunda yang harus menanam kopi di kebun jauh dari rumah mereka .
2. Sistem Priangan dan Tanam Paksa
Sistem kerja paksa pertama kali “dilatih” di Priangan sebelum dilegalkan dalam Cultuurstelsel. Petani tak bisa memilih: meninggalkan sawah sendiri demi memenuhi kuota kopi untuk Belanda. Terjadi fenomena kebun berjalan —petani harus berpindah-pindah ke lahan baru setelah kebun lama habis kesuburannya.
3. Hidup di Bawah Paksaan
Struktur desa diubah agar lebih mudah mengawasi kerja paksa. Mandor, kepala desa, hingga bupati menjadi “perpanjangan tangan” VOC, dengan imbalan perlindungan dan uang. Petani kecil makin miskin, sementara elite lokal menikmati posisi baru.
4. Tanam Paksa: Beban dan Perlawanan Terselubung
Banyak laporan kolonial mengeluh soal “kemalasan” petani, padahal mereka hanya menolak sistem yang merampas hidup mereka. Petani dipaksa menjual kopi jauh di bawah harga pasar (15 gulden per pikul, padahal nilai riilnya dua kali lipat). Bentuk perlawanan muncul dalam cara halus: memperlambat kerja, menyembunyikan hasil, hingga sabotase kecil.
5. Akhir Kerja Paksa, Awal Proletarisasi
Setelah kerja paksa resmi dihapus, petani tetap miskin. Mereka kehilangan tanah, lalu masuk ke kelas buruh upahan tak tetap. Pembangunan jalan, rel kereta, dan perdagangan modern ternyata tak memperbaiki nasib mereka—justru memperlebar jurang sosial.
