Di Bawah Lentera Merah

Di Bawah Lentera Merah  – Jejak Pemikiran Soe Hok Gie


Nama Soe Hok Gie selalu identik dengan suara kritis anak muda yang tak pernah berhenti menggugat ketidakadilan. Dalam buku Di Bawah Lentera Merah, ia mengajak kita menelusuri sejarah pergerakan mahasiswa Indonesia, khususnya kiprah organisasi mahasiswa yang berada dalam bayang-bayang ideologi kiri dan komunisme. Buku ini bukan sekadar catatan sejarah, melainkan refleksi tajam tentang idealisme, politik, dan perjuangan anak muda dalam membentuk arah bangsa.


Di Bawah Lentera Merah


Isi dan Hal-hal Menarik dari Tiap Bab

Bab 1 – Latar Belakang Sejarah Pergerakan Mahasiswa

Buku dibuka dengan uraian tentang lahirnya organisasi mahasiswa di era kolonial Belanda. Hal menarik: kita diajak melihat bagaimana mahasiswa bukan hanya “pelajar”, melainkan agen perubahan yang memelopori gagasan kebangsaan.

Bab 2 – Masuknya Ideologi Kiri di Kalangan Mahasiswa

Di sinilah lentera merah mulai menyala. Soe Hok Gie menyoroti bagaimana ideologi Marxisme dan komunisme memengaruhi gerakan mahasiswa. Hal menarik: analisisnya tidak hitam-putih; ia melihat sisi daya tarik ideologi kiri bagi kaum muda, tapi juga bahayanya bagi kebebasan berpikir.

Bab 3 – Organisasi dan Pertarungan Politik

Bab ini mengulas dinamika organisasi mahasiswa yang dipengaruhi Partai Komunis Indonesia (PKI) dan pertarungan ideologi di kampus. Hal menarik: kita bisa membayangkan betapa “panasnya” suasana politik kampus saat itu, dengan mahasiswa sebagai pion sekaligus pemain utama.

Bab 4 – Mahasiswa dan Perlawanan

Soe Hok Gie menggambarkan bagaimana mahasiswa menjadi motor penggerak perlawanan terhadap rezim yang mengekang kebebasan. Hal menarik: cerita-cerita heroik mahasiswa di jalanan yang turun membawa semangat idealisme, meski dengan risiko besar.

Bab 5 – Kejatuhan dan Perubahan Arah

Bab ini penuh drama sejarah. Soe Hok Gie menuliskan bagaimana kejatuhan PKI 1965 juga mengubah peta gerakan mahasiswa. Hal menarik: ia merekam kegelisahan intelektual mahasiswa setelah peristiwa berdarah itu—antara harapan dan ketakutan.

Bab 6 – Refleksi tentang Peran Mahasiswa

Sebagai penutup, buku ini menjadi refleksi filosofis: apakah mahasiswa seharusnya menjadi alat kekuasaan, atau tetap berdiri di garis kritis untuk kebenaran? Hal menarik: Gie menegaskan mahasiswa adalah “hati nurani bangsa”—yang seharusnya selalu berpihak pada keadilan.